MAHAR DALAM PERNIKAHAN
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pernikahan
adalah suatu peristiwa yang fitrah, tarbiyah, dan sarana paling agung dalam
memelihara kontinuitas keturunan dan memperkuat hubungan antar sesama manusia
yang menjadi sebab terjaminnya ketenangan, cinta dan kasih sayang. Oleh karena
itu, syariat Islam sangat memperhatikan segala permasalahan di dalamnya, yang
disebut al-ahwal asy-syakhshiyyah (Hukum yang berkaitan dengan
pernikahan, talak, mahar, keturunan dan lain-lain). Pernikahan merupakan
suasana salihah yang menjurus kepada pembangunan serta ikatan kekeluargaan,
memelihara kehormatan dan menjaganya dari segala keharaman. Nikah juga
merupakan ketenangan dan tuma'ninah, karena dengannya bisa didapat kelembutan,
kasih sayang serta kecintaan di antara suami dan isteri.
Nikah bisa dimanfaatkan untuk membangun keluarga salihah yang menjadi
panutan bagi masyarakat, suami akan berjuang dalam bekerja, memberi nafkah dan menjaga
keluarga, sementara istri mendidik anak, mengurus rumah dan mengatur
penghasilan, dengan demikian masyarakat akan menjadi benar keadaannya. Allah berfirman
dalam surat al-Ruum ayat: 21.
وَمِنْ
آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجاً لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا
وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ
يَتَفَكَّرُونَ
Artinya: “dan diantara tanda-tanta
kekuasaan allah ialah menciptakan untukmu istri-isri dari sejenismu sendiri,
supaya kamu cendrung dan merasa tentram padanya, dan dijadikan-Nya di antramu
raa kasih da sayang. akamu yang berpikir”.(QS Al-Arum 30: 21).
Setiap akad
pernikahan dari berbagai akad selama dilaksanakan dengan sempurna dan sah dapat
menimbulkan beberapa pengaruh. Apalagi akad pernikahan yang merupakan akad yang
agung dan penting mempunyai pengaruh yang lebih agung. Terjadinya akad nikah
semata akan menimbulkan beberapa pengaruh, di antaranya hak istri kepada
suami. Dan hak-hak istri yang wajib dilaksanakan suami adalah salah satunya
adalah mahar. Mahar termasuk keutamaan agama Islam dalam melindungi dan
memuliakan kaum wanita dengan memberikan hak yang dimintanya dalam pernikahan
berupa mahar kawin yang besar kecilnya ditetapkan atas persetujuan kedua
belah pihak karena pemberian itu harus diberikan secara ikhlas. Para ulama fiqh
sepakat bahwa mahar wajib diberikan oleh suami kepada istrinya baik secara
kontan maupun secara tempo, pembayaran mahar harus sesuai dengan perjanjian
yang terdapat dalam akad pernikahan.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah yang dikemukakan di atas dapat dirumuskan rumusan
masalah sebagai berikut :
1.
Apa definisi mahar dan kedudukannya dalam
pernikahan?
2.
Apasajakah macam-macam mahar?
3.
Seperti apakah kriteria dan nominal mahar dalam
pernikahan?
4.
Apa hikmah disyariatkan mahar ?
C.
Tujuan
penulisan
Adapun tujuan
penulisan makalah ini adalah sebagaimana berikut:
1.
Untuk
mengetahui definisi Mahar dan kedudukannya dalam pernikahan.
2.
Untuk mengetahui apasajakah macam-macam Mahar?
3.
Untuk mengetahui seperti apakah kriteria dan
nominal Mahar dalam pernikahan?
4.
Untuk mengetahui apa hikmah disyariatkan mahar
?
D.
Manfaat
Penulisan
Adapun
manfaat penulisan makalah ini adalah sebagaimana berikut:
1.
Memberi pengetahuan baru tentang mahar
pernikahan.
2.
Memberi cakrawala baru pada pembaca perihal mahar
pernikahan.
3.
Memberi pengetahuan baru kepada pembaca perihal
mahar pernikahan.
4.
Bagi peneliti, makalah ini sebagai penambah
ilmu pengetahuan dan wawasan.
5.
Bagi pihak lain, makahlah ini sebagai bahan
pertimbangan dan acuan untuk penelitian lebih lanjut.
E.
Metode
Penulisan
Dari
pembuatan dan penulisan makalah “Mahar dalam Pernikahan” ini, penulis
(kelompok) menggunakan metode studi pustaka yaitu salah satu metode yang
digunakan dalam penulisan Karya Tulis (makalah) dengan cara mengumpulkan
literatur baik berasal dari berbagai buku dan mencari inti-inti pembahasan
mahar. Sehingga menjadi sebuah bahasan yang menarik pada makalah ini.
PEMBAHASAN
A.
Definisi Mahar
dan Kedudukannya dalam Pernikahan
1.
Definisi Mahar
Pengertian mahar secara etimologi berarti
maskawin. Sedangkan pengertian mahar menurut istilah ilmu fiqih adalah
pemberian yang wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati
calon suami, untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon
suaminya dalam kaitannya dengan perkawinan.
Kemudian mengenai definisi
mahar ini dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), juga dijelaskan “ mahar
adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik
bebentuk barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.”
Kata
Mahar dalam al-Quran tidak ditemukan, yang digunakan adalah kata (صدقاتهن).[1] Dalam referensi lain juga
disebutkan bahwa Mahar dalam bahsa Arab Shadaq. Asalnya isim masdar dari kata الصدق,
masdarnya إصدق diambil dari kata صدقٍ
(benar), dinamakan صدق memberikan arti benar-benar cinta nikah
dan inilah yang pokok dalam kewajiban mahar atau maskawin. Pengertian menurut
mahar syara’ adalah sesuatu pemberian yang wajib sebab nikah atau bercampur
atau keluputan yang dilakukan secara paksa seperti menyusui dan ralat para
saksi.
Mengikut
Tafsiran Akta Undang-Undang Keluarga Islam (Wilayah Persekutuan) 1984
menyatakan “maskawin“ bererti pembayaran perkawinan yang wajib dibayar di
bawah Hukum Syara’ oleh suami kepada isteri pada masa perkawinan diakadnikahkan,
sama saja berupa uang yang sebenarnya dibayar atau diakui sebagai hutang dengan
atau tanpa cagaran, atau berupa sesuatu yang, menurut Hukum Syara’, dapat
dinilai dengan uang.
Pemberian mahar suami
sebagai lambang kesungguhan suami terhadap isteri. Selain itu mahar
mencerminkan kasih sayang dan kesediaan suami hidup bersama isteri serta
sanggup berkorban demi kesejahteraan rumah tangga dan keluarga. Mahar juga
merupakan penghormatan seorang suami terhadap isteri.
2.
Dasar Hukum Mahar dalam al-Quran dan al-Hadits
Telah terkumpul banyak dalil tentang pensyariatan mahar dan hukumnya wajib. Suami, istri, dan para wali tidak mempunyai kekuasaan mepersyaratkan akad nikah tanpa mahar.
Dalil kewajiban mahar dari
al-Quran
adalah firman
Allah SWT.:
وَءَاُتوا
االنِّسَاءَ صَدُ قَتِهِنَّ نِحْلَةً
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan” (QS.
An-Nisa’:4)
Demikian juga firman
Allah SWT.:
فَمَا
اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَئَاتُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةً
“Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban”. (QS.
An-Nisa’:24)
Dalil disyariatkannya mahar juga ada pada beberapa hadits Nabi
SAW.:
عن
عامر بن ربيعة ان امرأة من بنى فزارة تزوجت على نعلين فقال رسول الله صلى الله
عليه وسلم: أرضيت عن نفسك ومالك بنعلين, فقالت: نعم. فأجا زه. (رواه احمد و ابن ماجه والترمذى)
“Dari ‘Amir bin Robi’ah:
Sesungguhnya seorang perempuan dari Bani Fazaroh kawin atas maskawin sepasang sandal. Rasulullah
SAW. Lalu bertanya kepada perempuan tersebut: Apakah engkau ridho dengan maskawin sepasang sandal? Perempuan tersebut menjawab: Ya. Rasulullah akhirnya meluluskannya”. (HR. Ahmad)
Juga sabda Rasulullah
SAW.:
تَزَوَّجْ
وَلَوْ بِخَاتِمٍ مِنْ حَدِيْدٍ
“Kawinlah engkau sekalipun dengan maskawin cincin dari besi”. (HR. Bukhori)
Hadits di atas menunjukkan kewajiban mahar sekalipun sesuatu yang sedikit.
Demikian juga tidak ada keterangan dari Nabi SAW. bahwa beliau meninggalkan
mahar pada suatu pernikahan. Andaikata mahar tidak wajib tentu Nabi SAW. pernah
meninggalkannya walaupun sekali dalam hidupnya yang menunjukkan tidak wajib.
Akan tetapi beliau tidak pernah meninggalkannya, hal ini menunjukkan
kewajibannya.[2]
Ibnu Abbas
mengisahkan,
لَمَّا تَزَوَّجَ عَلِّي فَاطِمِةَ قال رسول الله صلى عليه وسلم:
أَعْطِهَا شَيْئًا, فقال: مَا عِنْدِيْ مِن شَيءٍ, قال: اَيْنَ دِرْعُكَ
الحُطَمِيَّةُ؟ قال: هِيَ عِنْدِي, قال: فَأَعْطِهَا اِيَّاهُ.
Ketika
Ali ibn Abi Thalib menikahi Fathimah, Rasulullah SAW. bersabda kepadanya,
“Berilah ia sesuatu (mahar)”, Ali menjawab: “Aku tidak memiliki apa-apa”, Rasulullah SAW. bertanya:
“Mana baju besimu?”, Ali menjawab: Ada padaku”, maka Rasulullah SAW. bersabda: “Berikan itu kepadanya”. (HR. Abu Dawud dan Nasa’i)
Dalil-dalil di
atas menunjukkan bahwa mahar merupakan salah satu rukun pernikahan. Akan
tetapi mahar itu tidak harus disebutkan dalam akad nikah.
Allah SWT.
berfirman,
لاَ
جُنَاحَ عَلَيْكُمْ اِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَالَمْ تَمَسُّوْهُنَّ اَوْ
تَفْرِضُوْا لَهُنَّ فَرِيْضَةً....
“Tidak ada dosa bagimu jika kamu menceraikan istri-istri kamu
yang belum kamu sentuh (campuri) atau belum kamu tentukan maharnya….” (QS. Al-Baqarah: 236)
Ibnu Al-Jauzi berkata,
“Ayat ini menunjukkan bahwa mahar boleh tidak disebutkan dalam akad nikah”. Akan tetapi, demi menghindari perbedaan
pendapat dan pertikaian, mahar itu lebih baik disebutkan disaat pelaksanaan
akad nikah.[3]
Adapun ijma’ telah terjadi konsensus sejak
masa kerasulan beliau sampai sekarang atas disyariatkannya mahar dan wajib
hukumnya. Kesepakatan ulama pada mahar hukumnya wajib. Sedangkan kewajibannya
sebab akad atau sebab bercampur intim, mereka berbeda pada dua pendapat.
Pendapat yang lebih shahih adalah sebab bercampur intim sesuai dengan lahirnya
ayat.[4]
3.
Kedudukan Mahar dalam Pernikahan
Para ulama madzhab sepakat
bahwa mahar bukanlah salah satu syarat atau rukun akad, tetapi merupakan suatu
konsekuensi adanya akad.[5] Mahar merupakan akibat
dan salah satu hukum dari sebagai hukum dalam suatu perkawinan yang
shahih, dan hubungan sebadan sesudah terjadinya perkawinan yang fasid (batal),
serta hubungan sebadan yang disebabkan kesamaran. Mahar wajib atas suami untuk
istrinya dengan adanya akad nikah yang shahih.
Namun, dalam referensi buku yang lain disana disebutkan bahwa para ulama
sepakat bahwa mahar termasuk rukun nikah[6], sehingga dalam pernikahan harus ada mahar yang disebutkan secara langsung
atau diam-diam. Jika tidak, maka wanita berhak mendapatkan mahar mitsl. Pendapat ini berdasarkan
pada firman Allah surat an-Nisa ayat: 4.
Berkata Syaikh
Abu Syuja’ yang artinya: “Disunnahkan
menyebut maskawin (mahar) dalam nikah. Jika mahar tidak disebutkan akad tetap
sah dan wajiblah maskawin yang seimbang (mahrul-mitsli) dengan tiga hal, yaitu
kalau hakim menentukan mahar misil, atau suami istri menentukannya, atau sudah
bersetubuh (dukhul) dengannya maka wajiblah mahar misil”.
وَآتُواْالنَّسَاءصَدُقَاتِهِنَّنِحْلَةً.
(النساء:٤)
“Berilah perempuan yang kamu kawini
itu suatu pemberian (maskawin)”
Dari sunnah ialah sabda Nabi SAW.:
إلتمس
ولو خاتم من حديد.
“Carilah walau hanya sebentuk cincin dari
besi (yakni untuk maskawin)”.
Disunnahkan hendaknya
nikah itu tidak diakad melainkan dengan maskawin, karena mengikuti jejak
Rasulullah SAW., sebab beliau tidak mengadakan akad nikah melainkan dengan
sesuatu yang disebutkan (maskawin), dan karena dengan begitu lebih menjauhkan
perselisihan di belakang hari. Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad al-Husaini
dalam kitab ‘Kifayatul Akhyar (Kelengkapan Orang Saleh)’.
Imam Syafi’i mengatakan
bahwa mahar adalah sesuatu yang wajib diberikan oleh seorang laki-laki kepada
perempuan untuk dapat menguasai seluruh anggota tubuhnya. Karena mahar
merupakan syarat sahnya nikah, bahkan Imam Malik mengatakannya sebagai rukun
nikah, maka hukum memberikannya adalah wajib.
Dalam komplikasi Hukum Islam (KHI),
permasalahan mahar terdapat dalam BAB V Pasal 30 sampai dengan Pasal 38. Adapun
materi dari pasal-pasal sebagai tersebut :
Pasal 30
Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada
calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk, dan jenisnya disepakati oleh kedua
belah pihak;
Pasal 31
Penentuan mahar berdasarkan asas kesederhanaan
dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran Islam;
Pasal 32
Mahar diberikan langsung kepada calon mempelai
wanita dan sejak itu menjadi hak pribadinya;
Pasal 33
1.
Penyerahan mahar dilakukan dengan tunai;
2.
Apabila calon mempelai wanita menyetujui,
penyerahan mahar boleh ditangguhkan baik untuk seluruhnya atau untuk sebagian.
Mahar yang belum ditunaikan penyerahannya menjadi hutang calon mempelai pria.
Pasal 34
1.
Kewajiban menyerahkan mahar bukan merupakan
rukun dan syarat dalam perkawinan;
2.
Kelalaian menyebut jenis dan jumlah mahar pada
waktu akad nikah, tidak menyebabkan batalnya perkawinan. Begitu pula halnya
dalam keadaan mahar masih berutang tidak mengurangi sahnya perkawinan;
B.
Macam-macam
Mahar
Pelaksanaan akad nikah pada
masa Rasulullah SAW. ada kalanya mahar itu disebutkan pada saat nikah, dan
diserahkan sekaligus pada waktu itu, atau bahkan sudah diterima sebelum
akad nikah. Tetapi juga pernah pada waktu
dilaksanakan akad nikah,mahar belum diserahkan dan bahkan tidak disebutkan
berapa kadar banyaknya mahar yang harus dibayarkan oleh calon suami. Maka
akhirnya para ulama’ menyimpulkan bahwa penyerahan mahar itu bisa secara tunai
(kontan) dan bisa juga ditunda (dihutang) dalam penyerahannya. Namun yang lebih
utama adalah penyerahan mahar secara tunai, walaupun tidak langsung
lunas tetapi hanya sebagian apabila tidak mampu seluruhnya.
Adapun
mengenai macam-macam mahar, ulama’ sepakat bahwa mahar itu
dibedakan menjadi dua,yaitu sebagi berikut :
1.
Mahar Musamma
Mahar
yang disebutkan maksudnya mahar yang disepakati oleh kedua belah pihak, baik
pada saat akad maupun setelahnya seperti membatasi mahar bersama akad atau
penyelenggaraan akad tanpa menyebutkan mahar, kemudian setelah itu kedua belah
pihak mengadakan kesepakatan dengan syarat penyebutannya benar. Ulama fikih bersepakat bahwa dalam
pelaksanaannya mahar musamma wajib diberikan secara penuh apabila:
a) Apabila telah
senggama
b) Apabila salah satu
dari suami / istri meninggal dunia
1)
Mahar
tersembunyi dan mahar terbuka
Ada macam mahar yang disepakati oleh
kedua belah pihak sebelum akad kemudian diumumkan pada saat akad berbeda dengan
mahar yang disepakati, baik dari segi ukuran maupun jenisnya. Pada saat itu berarti sang istri dihadapkan
pada dua mahar; pertama, pertama
mahar yang disepakati oleh kedua belah pihak sebelum akad dan mahar ini yang
disebutkan mahar tersembunyi. Kedua, mahar terubuka yang diumumkan
dalam akad dihadapan orang banyak. Mana
mahar yang wajib bagi istri dalam kondisi seperti ini, apakah mahar tersembunyi
atau mahar terbuka?
Ulama syafi’iyah berpendapat bahwa mahar
yang wajib adalah yang disebutkan dalam akad, karena akad inilah mahar menjadi
wajib. Yang wajib adalah yang disebutkan
dalam akad, baik sedikit maupun banyak.
Jikalau mahar tersembunyi 1.000 dan mahar yangdiumumkan 2.000, kemudian
mereka mengumumkan saat akad bahwa mahar 2.000maka itulah mahar yang
wajib. Apabila mengumumkan bahwa mahar
1.000, maka mahar yang wajib bagi istri adalah 1.000.[7]
Ulama Malikiyah berpendapat, jika kedua
belah pihak bersepakat pada mahar tersembunyi dan dalam pengumuman berbeda
dengan yang pertama, maka yang dipedomani adalah yang disepakiti kedua belah
pihak yang tersembunyi tersebut. Yang
tersembunyi itu inilah yang wajib diberikan kepada istri dan yang disepakati
dalam pengumuman tidak diberlakukan.
Ulama Hanabillah memisahkan pada dua
kondisi, yaitu:
1. Jika
kedua belah pihak mengadakan akad dengan mahar yang dirahasiakan, kemudian
mengadakan akad lagi secara terbuka dan diumumkkan mahar yang berbeda dengan
mahar akad yang pertama. Dalam hokum
kondisi seperti ini mahar yang diambil adalah mahar yang yang lebih banyak dari
keduanya dan inilah yang wajib diberikan kepada istri.
2. Jika kedua belah
pihak bersepakatan pada mahar sebelum akad kemudian mereka mengadakan akad
setelah kesepakatan tersebut yang lebih banyak dari mahar yang disepakati. Karena penyebutan yang benar pada akad yang
benar pula, mahar yang disebutkan dalam akad wajib diberikan kepada istri dan
tidak usah memperhatikan penyebutan yang disepakati sebelum akad seolah-olah
tidak ada.
Menurut Ulama
Hanafiyah, mahar tersembunyi dan terbuka ini dibagi dalam dua kondisi:
1. Jika kedua belah
pihak ketika akad tidak mengatakan bahwa mahar dari mereka 1.000 karena ingin
popular (sum’ah), mahar dalam kondisi ini adalah apa yang disebutkan secara
terbuka yaitu 2.000
2. Jika kedua belah
pihak mengatakan dalam akad 1.000 dari 2.000 karena mereka yang secara sembunyi
yakni 1.000 junaih. Ini lahirnya riwayat Abu Hanifah, yakni pendapat dua
sahabatnya. Diriwayatkan oleh Abu
Hanifah juga bahwa mahar adalah yang diumumkan oleh mereka dalam akad, yaitu
2.000 junaih.
Mahar musamma adalah mahar yang
disebutkan bentuk, wujud atau nilainya secara jelas dalam akad nikah. Seperti
kebanyakan yang berlaku dalam perkawinan masyarakat kita yaitu Indonesia. Mahar
musamma terbagi menjadi dua:
1)
Mu`ajjal
Mahar
Mu’ajjal adalah mahar yang segera diberikan kepada istri
atau mahar yang di berikan secara kontan.
2)
Ghairu Mu’ajjal
Mahar
muajjal adalah mahar atau maskawin yang ditangguhkan
pemberiannya kepada istri atau mahar yang pemberiannya
secara terhutang.
Para ulama’ telah sepakat
bahwa mahar musamma harus dibayarkan seluruhnya
oleh suami apabila terjadi salah satu diantara hal-hal yang berikut ini, yaitu:
a)
Telah bercampur (bersenggama). Allah SWT. berfirman:
Artinya: “Dan jika kamu ingin mengganti
isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang
di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari
padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan
tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata”. (Q.S. An-Nisa’:20).
Ayat ini
mengajarkan bahwa apabila seorang suami telah menggauli istrinya dia tidak lagi
diperbolehkan mengambil kembali sedikitpun mahar yang telah
diberikan. Yang
dimaksud dengan “mengganti istri dengan istri yang lain” pada ayat tersebut
adalah menceraikan istri yang lama dan mengganti dengan istri yang baru.
Meskipun menceraikan istri yang lama bukan tujuan untuk menikah, meminta
kembali pemberian-pemberian itu tidak diperbolehkan.
b)
Apabila salah seorang suami atau istri
meninggal dunia qabla dukhul. Misalnya apabila suami meninggal
sebelum bersetubuh dengan istrinya maka si istri berhak menuntut maskawin
seluruhnya dari tinggalan kekayaan suaminya, disamping menerima waris yang
berlaku baginya yaitu seperempat kalau suami tidak punya anak atau seperdelapan
apabila suami mempunyai anak. Demikian pula ahli waris si perempuan berhak
menuntut maskawin dari suaminya apabila si perempuan meninggal dunia sebelum
dicampuri suaminya. Demikian ijma’ para ulama dan tidak ada perbedaan
pendapat dalam hal ini.
c)
Disini ada perbedaan pendapat para ulama. Abu
Hanifah berpendapat bahwa apabila seorang suami sudah pernah berduaan dengan
istrinya di tempat yang sepi maka istri sudah berhak menuntut maskawinnya,
beralasan dengan hadis Abu Ubaidah dari Zaid bin Abi Aufa, ia berkata:
“Khulafaur Rasyidin telah menetapkan bahwa apabila pintu telah ditutup dan
kelambu sudah dipasang maka maskawin wajib dibayarkan”.
Menurut Imam Syafi’i, Malik dan Daud pemimpin
mazhab Zhahiriyah berpendapat bahwa maskawin itu tidak dapat diminta seluruhnya
kecuali apabila suami istri itu telah berhubungan badan (jima), berkhalwat atau
menyepi berduan di tempat sepi hanya mewajibkan separuh maskawin.
Beralasan dengan firman Allah:
Artinya: “Jika kamu menceraikan
Isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal Sesungguhnya kamu
sudah menentukan maharnya, Maka bayarlah seperdua dari mahar yang Telah kamu
tentukan itu…..”. (Q.S Al-Baqarah: 237).
2.
Mahar Mitsil
Yaitu mahar yang tidak disebut besar
kadarnya pada saat sebelum ataupun ketika terjadi pernikahan. Atau mahar yang
diukur (sepadan) dengan mahar yang pernah diterima oleh keluarga terdekat,
agak jauh dari tetangga sekitarnya, dengan mengingat status sosial, kecantikan
dan sebagainya.
Bila terjadi
demikian, mahar itu tidak disebutkan besar kadarnya pada saat sebelum
atau ketika terjadi pernikahan, maka mahar itu mengikuti maharnya saudara
perempuan pengganti wanita (bibi, bude, anak perempuan bibi/ bude). Apabila tidak ada,
maka mahar mitsil itu beralih dengan ukuran wanita lain yang
sederajat dengan dia. Mahar mitsil juga terjadi dalam keadaan sebagai
berikut:
1)
Apabila pada waktu dilakukan akad nikah tidak disebutkan jumlah dan jenis mahar dan sebelumnya belum ditentukan mahar itu, seperti dalam nikah tafwidh (nikah yang tidak disebutkan
dan tidak ditetapkan maharnya) dengan berlangsung
akad nikah ini wanitayang
bersangkutan berhak menerima mahar mitsil baik suami telah bercampur dengan istri, atau meninggal
sebelum bercampur.
2)
Jika mahar musamma belum dibayar sedangkan suami
telah bercampur dengan istri dan ternyata nikahnya tidak sah. Nikah
yang tidak disebutkan dan tidak ditetapkan maharnya disebut nikah tafwidh. Hal
ini menurut jumhur ulama’ diperbolehkan. Firman Allah SWT.:
Artinya: “Tidak ada kewajiban membayar (mahar)
atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur
dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya”.(Q.S. Al-Baqarah: 236)
Ayat tersebut menunjukkan
bahwa seoarang suami boleh menceraikan istrinya sebelum digauli dan belum juga
ditetapkan jumlah mahar kepada istrinya itu. Dalam hal ini, maka
istri berhak menerima mahar mitsil.
3)
Sepasang
suami istri telah sepakat nikah tanpa mahar (nikah tafwidh), namun
menurut hukum Islam suami harus membayar mahar,
sebab mahar adalah hak Allah. Dalam hal ini istri berhak
menerima mahar mitsil, karena ada keharusan dalam syara’ bahwa suami
membayar mahar kepada istri karena pernikahan. Orang yang melakukan
pernikahan tidak berhak menghilangkan ketentuan itu.
Menurut ulama Syafi’iyah yang dipedomani dalam
mempertimbangkan mahar mitsil adalah dengan melihat beberapa wanita keluarga ashabah (sekandung atau dari bapak)
perempuan untuk mencari persamaan ukuran mahar.
Yang perlu diperhatikan terhadap wanita-wanita keluarga ashabah perempuan ketika mencari ukuran mahar mitsil adalah dari segi status
mereka terhadap perempuan, mereka satu sifat dengannya dan yang paling dekat
dengan nya. Artinya, jika saudara
perempuannya yang sekandung yang sama sifat-sifatnya menikah dengna mahar 1.000
rupiah, maka mahar perempuan tersebut juga 1.000. jika tidak memiliki saudara perempuan
sekandung atau belum menikah atau sudah menikah tetapi tidak diketahui
maharnya, mka dilihat dari saudara perempuannya tunggal bapak, putri saudara
laki-laki sekandung, putri saudara laki-laki sebapak, kemudian saudara ke bawah
dari dua arah mereka tersebut yang satu arah ke saudara perempuan kandung yang
satu lagi saudara perempuan bapak.
Jika
tidak ditemukan wanita-wanita ashabah
perempuan di atas dalam arti tidak ada sama sekali atau ada tetap ibelum
menikah atau sudah menikah tetapi tidak diketahui maharnya, pindah kepada wanita-wanita
arham(keluarga ibu) dari perempuan
tersebut secara tertib, yaitu ibu, nenek, bibi, putri saudara perempuan, putri
bibi. Kita tidak pindah ke satu wanita dari mereka kecuali sebelumnya dihukumi
tidak ada, atau belum nikah atau sudah nikah tetapi tidak diketahui maharnya.
Jika
tidak ditemukan wanita keluarga arham (dari ibu) atau ada, tetapi belum menikah
atau sudah menikah tetapi tidak diketahui maharnya. Maka mahar wanita tersebut disamakan mahar
wanita-wanita yang setara dengannya.
Akan tetapi lebih didahulukan wanita-wanita dalam negerinya atau
negeri-negeri didekatnya.
Pertimbangan
persamaan antara dua wanita yang sama dalam sifatnya adalah persamaan dalam
usia, kecerdasan(IQ), kecantikan, kekayaan, kejelasan berbicara, keperawanan,
karena nahar akan berbeda sebab perbedaan sifat-sifat tersebut.
Demikian
juga yang harus dipertimbangkan adalah kondosi suami ketika menentukan ukuran mahar mitsil. Kondisi suami seperti kaya, berilmu,
memelihara haram, dan sejenisnya. Jikalau didapatkan wanita keluarga ashabah istri yang sama sifat-sifatnya
dan kondisi suaminya juga sama, maka maharnya sama dengan wanita tersebut. Jika tidak sama, maka tidak disamakan.
1)
Beberapa Kondisi Wajib Mahar Mitsil
Penulis
Syarah At-Tahir telah meringkas kondisi wajib mahar mitsil dengan perkataannya; wajib mahar mitsil pada lima (5) tempat, yaitu:
dalam nikah, bersenggama, Khulu’, meralat dari persaksian, dan persusuan. Dalam mbeberapa kondisi ini mahar mitsil wajib dibayar dank an kami
bahas secara perinci.
Kondisi pertama, akad nikah
sah jika memenuhi syarat dan rukunnya.
Jika seorang wanita berkata kepada walinya; “nikahkan aku tanpa mahar” kemudian wali menikahkannya tanpa mahar
atau menikahkanya tanpa menyebutkan mahar dalam akad atau wali menikahkannya
dengan mahar kurang dari mahar mitsil
atau dengan uang yang bukan dari negaranya atau ia menyebutkan mahar tertentu
kemudian rusak di tangan suami sebelum diserahterimakan, atau kedua belah pihak
mempersyaratkan syarat yang rusak seperti khamr.
Dalam
bebagai contoh diatas, mahar mitsil wajib
diberikan jika telah terjadi percampuran suami atau meninggal salah
satunya. Jika suami belum bercampur atau
belum meninggal salah satunya maka wanita berhak menuntut mahar sebelum
berhubungan, berhak menahan dirinya sehingga dibayar maharnya dan tidak ada
kewajiban suatu sebab akad semata.
Sesungguhnya ia wajib hanya karena salah satu dari tiga hal, yaitu
kerelaan wanita atau kewajiban dari pengadilan atau meninggal salah satunya. Karena jika
wajib sebab akad, ia mengambil separuh mahar sebab talak sebelum bercampur
seperti mahar yang disebutkan. al-Quran
menunjukkan bahwa tidak ada kewajiban bersenang (mut’ah), sebab dalam akad
mempunyai tuntutan agar dibayar maharnya.
Kondisi kedua, wajib mahar mitsil sebab bercampur
syubhat. Misalnya seorang laki-laki
mendapati seorang wanita lain yang tidur ditempat istrinya, kemudian ia menduga
wanita lain itu adalah istrinya sampai ia mencampurinya, setelah itu ia
menyadari itu adalah bukan istrinya.
Atau seorang wanita pindah ketempat istri, suami menduga istrinya
kemudian ia mencampurinya, dan ternyata itu bukan istrinya. Dalam kondisi ini wajib dibayar mahar mitsil tanpa member keperawanan
jika ia perawan, jika ia janda ia diberi mahar sebagai janda dan tidak wajib
hukuman. Demikian pernikahan yang rusak
(fasid), nmisalnya seseorang menikahi
perempuan tanpa wali dan saksi kemudian ia mencampurinya. Seolah-olah hari kejadian rusak bukan hari
akad karena tidak ada pengahargaan bagi akad yagn rusak.
Sebagai
sabda Nabi SAW.:
ايما امراة انكحت نفسِها بغير اذن وليها فنكاحها باطل،
فان دخل فلها مهر مثلها
“Wanita mana saja yang menikahkan dirinya tanpa seizing
walinya, nikahnya batal, jika ia mencampurinya maka baginya mahar mitsil.”
Kondisi ketiga, wajib mahar mitsil
sebab khulu’. Misalnya, jika seorang
wanita budak khulu’(mengajukan talak
kepada suami dengan hadiah) tanpa seizing tuannya degan memberikan suatu benda,
baik milik tuanna atau orang lain. Dalam kondisi ini, suami berhak mahar mitsil-nya yang dianalogikan
dengan khulu’.
Kondisi keempat, wajib mahar mitsil
karena persusuan. Misalnya, jika seorang laki-laki berakad nikah dengan wanita
yang masih bayi seusia persusuan dan memilki istri lain yang sudah dewasa. Istri dewasa menyusui istri yang masih bayi
tanpa seizing suami sampai lima kali susuan.
Bayi tersebut menjadi anaknya suami dalam persusuan dan haram atasnya,
karena akad anak wanita mengharamkan ibunya, ia menjadi ibu bagi istri yang
bayi. Dengan demikian, istri yang masih bayi mendapatkan separuh mahar yang
disebutkan jika penyebutannya benar karena berpisah sebelum bercampur dan jika
penyebutannya rusak, ia mendapatkan separuh mahar
mitsil. Istri dewasa membayar separuh mahar
mitsil kepada suami secara mutlaq, baik penyebutan mahar itu benar maupun rusak,
karena ia meluputkan suami dari kehalalan seks istri yang masih bayi.
Kondisi kelima, wajib mahar
mitsil karena persaksian. Misalnya
jika dua orang saksi laki-laki bersaksi kepada orang lain bahwa suami menalak
istri nya dengan talak ba’in dan
talak raj’i dan
tidak kembali sampai masa iddah-nya. Pengadilan mengeluarkan keputusan memisahkan
mereka berdasarkan saksi tersebut.
Setelah itu dua orang saksinya meralat persaksiaannya dan berkata: “sesungguhnya apa yang kami persaksikan tidak
benar”. Dalam kondisi ini dua orang
saksi wajib membayar mahar mitsil kepada
suami, karena merekalah yang meluputkan suami dari kehalalan seks atas
istrinya.
C.
Kriteria dan
Nominal Mahar dalam Pernikahan
1.
Kriteria Mahar
Fuqaha’ sepakat bahwa harta yang berharga dan maklum patut dijadikan mahar. Oleh
karena itu emas, perak, uang, takaran, timbangan, uang kertas dan lain-lain sah
dijadikan mahar karena ia bernilai material dalam pandangan syara’. Sebagaimana
pula mereka sepakat bahwa sesuatu yang tidak ada nilai material dalam pandangan
syara’ tidak sah untuk dijadikan mahar seperti babi, bangkai dan khamr.
Mereka berbedda
pendapat tentang jasa atau manfaat, apakah sah jika dijadikan mahar, seperti
seseorang menikahi seorang perempuan dengan mahar talak istrinya atau diajarkan
Alquran. Dalam contoh pertama, para ulama terjadi perbedaan. Ulama Syafi’iyah[8]
bersam Ulama Hanabilah dalam suatu riwayat berpendapat bahwa sah dengan mahar
tersebut karena bolehnya mengambil pengganti. Sedangkan dalam contoh kedua,
Ulama Syafi’iyah dan Imam Hazm memperbolehkannya berdasarkan hadis: Aku
nikahkan engkau padanya dengan mahar sesuatu yang ada bersam engkau dalam
Alquran.
Dalam hal ini Asy-Syairazi berpendapat, diperbolehkan mahar dengan sesuatu
yang bermanfaat seperti pengabdian, pengajaran al-Quran, dan lain-lain dari
hal-hal yang brmanfaat dan diperbolehkan berdasarkan firman Allah SWT.:
قَالَ
إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ عَلَى أَن
تَأْجُرَنِي ثَمَانِيَ حِجَجٍ
Dia (Syaikh
Madyan) berkata, “Sesungguhnya aku bermaksud ingin menikahkan engkau dengan
salah seorang dari kedua anak perempuanku ini, dengan ketentuan bahwa engkau
bekerja padaku selama delapan tahun (QS. Al-Qashash: 27).
Dalam ayat di atas pengembalaan dijadikan mahar. Nabi juga pernah menikahkan
seorang wanita yang menghibahkan dirinya kepada peminangnya dengan ayat-ayat
al-Quran yang dihafal. Mahar tidak boleh sesuatu yang haram seperti mengajarkan
Taurat dan mengerjakan al-Quran kepada wanita dzimmiyah (nonmuslimah
yang patuh bernegara di negara Islam), ia mempelajarinya bukan karena cinta
Islam.
Mahar tidak
senantiasa berupa uang atau barang. Dikalangan santri, pernah terjadi
pernikahan dengan maskawin berupa kesanggupan calon suami untuk memberi
pelajaran terhadap calon istrinya membaca kitab suci al-Quran sampai tamat,
dikalangan para santri lebih dikenal dengan istilah khatam al-Quran.
Syarat-syarat
dan manfaat yang boleh dijadikan mahar menurut para ahli fikih beragam, antara
lain: menurut ulama Syafi’iyah, manfaat yang dimaksud adalah sesuatu yang
dijadikan mahar tersebut mempunyai nilai dan bisa diserahterimakan baik secara
konkrit maupun syariat. Ulama Syafi’iyah menganggap tidak sah bagi orang yang
mengajarkan satu kata atau satu ayat pendek yang mudah, apalagi diajarkan kepada
orang kafir zimmi bukan dengan tujuan masuk Islam.
Berbeda lagi
dengan ulama Hanabilah, mereka berpendapat bahwa manfaat yang dimaksud dalam
mahar ini adalah semua manfaat yang diketahui secara pasti serta dapat diambil
manfaatnya, karena manfaat disini dianggap sebagai imbalan dalam akad tukar
menukar.
Sedangkan
Malikiyah memberikan syarat bahwa, mahar berupa manfaat tersebut harus
diketahui dan dari benda yang baik. Dalam hal ini, ulama Malikiyah terbagi
menjadi 3 pendapat yang berbeda, yaitu :
Menurut pendapat
ibnu Qasim tidak boleh. Imam Malik sendiri mengatakan boleh tapi makruh. Ashbagh
dan Suhnun mereka berpendapat bahwa mahar manfaat itu boleh tapi makruh.
Ulama yang
keempat adalah ulama Hanafiyah, ulama yang berpendapat bahwa manfaat yang akan
dijadikan mahar harus manfaat yang dapat diukur dengan harta, seperti
mengendarai kendaraan, menempati rumah atau menanam sawah dalam waktu tertentu.
Berdasarkan
keterangan di atas, syarat sah mahar adalah sebagai berikut:
1.
Mahar tidak berupa
barang haram, tidak sah mahar berupa khamr atau babi dan seterusnya.
2.
Tidak ada kesamaran, jika terdapat unsur
ketidakjelasan maka tidak sah dijadikan mahar, sperti mahar berupa hasil panen
kebun pada tahun yang akan datang atau sesuatu yang tidak jelas, seperti mahar
rumah yang tidak ditentukan.
3.
Mahar dimiliki dengan pemikiran sempurna. Syarat ini
mengecualikan pemilikan yang kurang atau tidak sempurna, seperti mahar sesuatu
yang dibeli dan belum diterima, pemilikan seperti ini pemilikan yang kurang
atau tidak sempurna, tidak sah dijadikan mahar.
4.
Mahar mampu diserahkan. Dengan syarat ini
mengecualikan yang tidak ada kemampuan menyerahkan seperti burung di
awang-awang atau ikan di laut. Tidak sah hal tersebut dijadikan mahar.[9]
Semua benda
yang bisa dijadikan alat penukaran (tsaman) dalam jual beli. Mahar bisa berupa
barang yang bernilai ekonomis, suci, halal, bisa dimanfaatkan, dan bisa
diserah-terimakan, misalnya uang, barang, atau sejenisnya. Allah SWT.
berfirman, “Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari
isteri-isteri dengan hartamu.” (QS. An-Nisaa:4).
Mahar bisa
berupa sebagai berikut:
a.)
Jasa
Setiap pekerjaan (jasa) yang
mendapat upah boleh dijadikan sebagai mahar. Misalnya mengajar al-Quran,
pekerjaan tangan, pelayanan, dan sejenisnya. Ini adalah pendapat imam Syafi’i
dan Ahmad. Sementara itu, Abu hanifah menolaknya, sedangkan Imam Malik
menganggapnya makruh.
Menurut Ulama’
yang membolehkan menikah dengan mahar jasa karena Allah SWT.
telah mengisahkan pada kita bagaimana seorang bapak tua menikahkan Musa AS.
dengan salah satu puterinya dengan mahar bekerja selama delapan tahun pada si
bapak. Allah SWT. berfirman,”Berkatalah dia (Syu’aib): “Sesungguhnya aku
bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anaku ini, atas dasar
bahwa kamu bekerja denganku delapan
tahun dan jika kamu tidak hendak memberati kamu. Dan kamu insyaAllah akan
mendapatiku termasuk orang-orang yang baik.” (Qs. Al-Qashash:27) hal ini
memang syariat umat sebelum islam, namun selama tidak ada dalil yang
membatalkanya, maka ia tetap sah dan berlaku bagi kita.
b.)
Memerdekakan budak
Diceritakan
oleh Anas, bahwasanya Rasulullah SAW. memerdekakan
Shafiyah dan menjadikan pemerdekaanya sebagai maharnya.
Kalangan yang
membolehkan pemerdekaan budak sebagai mahar adalah Syafi’i, Ahmad, dan Daud
Azh-Zhahiri. Namun hal ini ditolak oleh kalangan ahli fikih berbagai negeri
dengan alasan bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar(ushul). Menurut logika
mereka, pemerdekaan budak berarti penghapusan kepemilikan atas diri budak tersebut, dan
penghapusan ini tidak mengandung unsur penghalalan sesuatu. Disisi lain, jika
seorang budak dimerdekakan, maka ia berarti memiliki dirinya sendiri.
Pendapat yang
lebih unggul adalah yang membolehkan pemerdekaan budak sebagai mahar demi merujuk
hadis diatas. Sebab, pada dasarnya semua perbuatan Nabi saw adalah untuk
diteladani umatnya, kecuali ada dalil yang menunjukan kekhususan, misalnya
menikahi wanita yang menghibahkan dirinya pada beliau dan beristeri lebih dari
empat. Selain itu, apa yang disebut-sebut kalangan ahli fikih berbagai negeri
bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar sama sekali tidak bertentangan dengan
hadis ini.
c.)
Memeluk islam sebagai maharnya
Dikisahkan oleh
Anas bin Malik, tuturnya: Abu Thalhah menikahi Ummu Sulaim dengan mahar “masuk
Islam”. Dikisahkan bahwa Ummu Sulaim lebih dahulu memeluk Islam daripada Abu
Thalhah. Saat melamarnya, Ummu Sulaim pun berkata kepadanya, “Aku telah masuk
Islam. Jika kamu masuk Islam, aku bersedia menikah denganmu.” Abu Thalhah pun
memeluk Islaam dan menjadikanya sebagai mahar antara keduanya.”Hadits ini
menjadi argumentasi tersendiri bagi kalangan yang membolehkan keislaman lelaki
sebagai mahar, namun Abu Muhammad bin Hazm menyanggah pendapat ini dengan 2
argumentasi:
1. Hal itu terjadi beberapa waktu sebelum hijrah, sebab itu Abu Thalhah
termasuk generasi awal yang masuk islam dan menjadi pendukung Islam, dan kala
itu belum turun kewajiban memberikan mahar pada perempuan.
2.
Tidak
ada indikasi dalam hadis tersebut yang menjelaskan bahwa Nabi saw ,mengetahui
masalah ini.[10]
2.
Nominal Mahar
a)
Batasan
Tertinggi dan Batasan Terendah Mahar
Kalangan
ulama sepakat secara bulat bahwa tidak ada batasan tertinggi
mahar yang diberikan mempelai pria kepada isterinya.
Fuqoha’ sepakat bahwa mahar tidak memiliki
ukuran batas yang harus dilakukan dan tidak boleh melebihinya. Ukuran mahar
diserahkan kepada kemampuan suami sesuai dengan pandangannya yang sesuai. Tidak
ada dalam syara’ suatu dalil yang membatasi mahar sampai tinggi dan tidak boleh
melebihinya. Sebagaimana firman Allah SWT.:
“Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan
istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seorang di antara mereka
harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali sedikit pun darinya.
Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan
dengan (menanggung) dosa yang nyata? Dan bagaimana kamu akan mengambilnya
kembali, padahal kamu telah bergaul satu sama lain (sebagai suami-istri). Dan
mereka (istri-istrimu) telah mengambil perjanjian yang kuat (ikatan pernikahan)
dari kamu.”
Umar ra ketika hendak mencegah manusia
berlebih-lebihan dalam mahar dan melarangnya lebih dari 400 dirham dan
diceramahkan di hadapan manusia. Ia berkata: “Ingatlah, jngan berlebihan dalam
mahar wanita, sesungguhnya jika mereka terhormat di dunia atau takwa di sisi
Allah sungguh Rasulullah SAW. orang yang
paling utama di antara kalian.” Beliau tidak memberikan mahar pada seorang
wanita dari para istri beliau dan putra-putri beliau lebih dari 12 uqiyah.
Barangsiapa yang memberi mahar lebih dari 400 dirham maka tambahan itu
dimasukkan uang kas. Lantas ada seorang wanita dari quraisy berkata:
“Bukan demikian hai Umar.” Sahut Umar: “Mengapa tidak…” Wanita berkata: ”Karena Allah
berfirman: Sedang kamu telah memberikan
kepada seseorang di antara mereka harta yng banyak, maka janganlah kamu
mengambil kembali dari padanya barang sedikit pun (QS. An-Nisaa: 20).” Beliau
berkata: “Allah maaf, Umar bersalah dan benar wanita ini.” Selanjutnya beliau
berkata: “Dulu aku mencegah kamu melebihi 400 dirham untuk mahar wanita,
barangsiapa yang berkehendak berilah dari hartanya yang disukai.”
Sekalipun fuqaha sepakat
bahwa tidak ada batas maksimal dalam mahar, tetapi seyogianya tidak berlebihan,
khususnya di era sekarang. Hadis yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW. bersabda:
أَقَلُّهُنَّ مُهُوْرًا
أَكْثَرُهُنَّ بَرَكَةً
“Wanita yang sedikit maharnya lebih banyak berkahnya.”
خَيْرُالصَّدَاقِ
أَيْسَرُهُنَّ
Ulama Syafi’iyah, Imam Ahmad, Ishak, dan Abu
Tsaur berpendapat tidak ada batas minimal mahar, tetapi sah dengan apa saja
yang mempunyai nilai materi, baik sedikit maupun banyak. Alasannya, karena
beberapa teks al-Quran yang menjelaskan tentang mahar dengan jalan kebijaksanaan, layak
baginya sedikit dan banyak. Sebagaimana firman Allah SWT. :
وَآتُواْ النَّسَاء صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً
Artinya: “Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi)
sebagai pemberian yang penuh kerelaan.” (QS. An-Nisaa: 4)
وَأُحِلَّ لَكُم مَّا وَرَاء ذَلِكُمْ أَن
تَبْتَغُواْ بِأَمْوَالِكُم مُّحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ
Artinya: “Dan (diharamkan juga kamu menikahi) perempuan yang bersuami, kecuali
hamba sahaya perempuan (tawanan perang) yang kamu miliki sebagai ketetapan Allah
atas kamu. Dan dihalalkan bagimu selain (perempuan-perempuan) yang demikian itu
jika kamu berusaha dengan hartamu untuk menikahinya bukan untuk berzina.” (QS. An-Nisa: 24)
وَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
Artinya: “Dan berilah mahar mereka menurut yang patut.” (QS. An-Nisaa: 25)
Di antara sunnah, hadis yang diriwayatkan dari Amir bin Rabi’ah bahwa
seorang wanita dari Bani Fazarah menikah atas sepasang dua sandal. Rasulullah
bertanya:
رَظِيْتِ عَنْء نَفْسِكِ وَمَالِكِ بِنَعْلَيْنِ ؟ فَقَالَتْ : نَعَم,
فَأَجَازَهُ
“Apakah kamu rela dari dirimu dan hartamu dengan sepasang dua sandal?
Wanita itu menjawab: “Ya aku rela” maka beliau memperbolehkannya.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan At-Tirmidzi)
Dari Jabir bahwa Rasulullah SAW. bersabda :
لَوْأَنَّ رَجُلَا أَعْطَى امْرَأَةَ صَدَاقَا مِلْءَيَدَيْهِ طَعَامًا
كَانَتْ لَهُ حَلَا لاً
“Jikalau bahwa seorang laki-laki memberi mahar kepada seorang wanita
berbentuk makanan sepenuh dua tangannya, maka halal baginya.” (HR. Ahmad)
Hadis di atas menunjukkan bahwa apa saja yang bernilai material
walaupun sedikit, sah dijadikan mahar. Demikian pula hadis yang diriwayatkan
bahwa Nabi SAW. bersabda kepada seseorang yang ingin menikah:
أُنْظُرْ وَلَوْ خَاتَمَا مِنْ حَدِيْدٍ
“Lihatlah walaupun sebuah cincin dari besi.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Teks-teks hadis di atas menunjukkan secara tegas bahwa tidak ada batas
minimal dalam mahar, tetapi segala sesuatu yang dinilai material patut menjadi
mahar.
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa minimal sesuatu yang layak dijadikan mahar
adalah seperempat dinar emas atau tiga dirham perak. Karena Abdurrahman bin
‘Auf menikah atas emas seberat biji kurma, yaitu seperempat dinar dan ukuran
itulah nishab pencurian menurut mereka. Artinya, harta seukuran itu mempunyai
arti nilai dan kehormatan berdasarkan dipotong tangan pencurinya dan tidak
dipotong di bawah ukuran itu, maka itulah batas ukuran minimal mahar.
Ibnu Syabramah berpendapat, uluran minimal mahar adalah 5 dirham, Said
bin Jubair berpendapat bahwa minimal 50 dirham sedangkan An-Nukhai berpendapat
40 dirham. Ukuran tersebut didasarkan pada sebagian peristiwa kejadian yang
diperkirakan pada ukuran tersebut dan dianalogikan dengan nisab pencurian
menurut masing-masing mereka.
Menurut madzhab Hanafiyah, yang diamalkan dalam ukuran minimal mahar
adalah 10 dirham. Ukuran ini sesuai dengan kondisi ekonomi yang berlaku, yakni
25 Qursy. Dasar mereka adalah hadis yang diriwayatkan Jabir dari Nabi SAW. bersabda :
لاَمَهْرَأَقَلَّ مِنْ عَشْرَةِ دَرَاهِمِ
“Tidak ada mahar yang lebih minim dari 10 dirham.”
Pendapat yang kuat menurut kita
adalah pendapat Imam Asy-Syafi’I dan Ahmad, karena hadis yang disandarkan
kepadanya yang paling shahih tentang hal tersebut menurut kesepakatan para
ulama. Sedangkan yang disandarkan kepada yang lain tidak shahih.
Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah mengatakan,”Barangsiapa yang memiliki harta dan kekayaan
berlimpah, lalu ia ingin memberikan mahar sebesar-besarnya pada isterinya, maka
tidak ada masalah baginya, sebagaimana firman Allah swt,”Sedang kamu telah memberikan
kepada seseorang diantara mereka harta
yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang
sedikitpun.” (Qs. An-Nisaa:20).
Namun jika ia
memaksakan diri untuk memberikan mahar yang besar sementara ia sendiri
sebenarnya berkeberatan untuk memenuhinya, maka ini hukumnya makruh. Terkait
dengan batasan terendah, pendapat yang rajih memastikan bahwa tidak ada pula
batasan terendah dari mahar yang harus dibayarkan kepada mempelai wanita. Mahar
bisa berupa apa saja yang disebut “mal” (uang/harta) atau apa saja yang bisa
dinilai dengan uang (jasa) selama kedua belah pihak sama sama ridha (menerima
dengan senang hati). Ini adalah pendapat imam Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur,
Al Auza’i, Al-Laits, Ibnu Musayyab, dan lain-lain.
Bahkan Ibnu Hazm membolehkan semua hal yang bisa diparoh
(dibelah) sebagai mahar, meskipun hanya sebiji gandum. Mahar boleh berupa sesuatu yang memiliki nilai material maupun
immaterial. Dan inilah yang disepakati oleh dalil-dalil yang ada dan sesuai
dengan pengertian yang benar dari pensyariatan mahar. Sebab substansi mahar
bukanlah sebagai kompensasi yang bersifat materi saja, akan tetapi ia lebih
merupakan simbolisasi keinginan dan ketulusan niat untuk hidup bersama dalam
biduk rumah tangga. Sehingga ia boleh diwujudkan dalam bentuk uang/materi, dan
dalam bentuk sesuatu yang memiliki nilai immaterial, selama mempealai wanita
ridha (rela) menerima.
D.
Hikmah Mahar
Wujud mahar
(bukanlah) untuk menghargai atau menilai perempuan, melainkan sebagai bukti
bahwa calon suami sebenarnya cinta kepada calon istrinya, sehingga dengan suka
dan relahati ia mengorbankan hartanya untuk diserahkan kepada istrinya itu,
sebagai tanda suci hati dan pendahuluan, bahwa suami akan terus menerus memberi
nafkah kepada isteinya, sebagai kewajiban suami terhadap istrinya. Oleh sebab
itu, maskawin tidak ditentukan berapa banyaknya, tetapi cukup dengan tanda
cinta hati. Laki-laki yang tidak mau membayar mahar adalah suatu bukti bahwa ia
tidak menaruh cinta walaupun sedikit kepada istrinya.[12]
Dalam setiap
amal pasti membawa hikmah tersendiri, begitupun dengan mahar. Adapun hikmah
mahar adalah:
1.
Menunjukkan kemuliaan wanita, karena wanita
yang dicari laki-laki bukan laki-laki yang dicari wanita.laki-laki yang
berusaha untuk mendapatkan wanita meskipun harus mengorbankan hartanya.
2.
Menunjukkan cinta dan kasih saying seorang
suami kepada istrinya, karena maskawin itu sifatnya pemberian, hadiah, atau
hibah yang oleh al-Quran diistilahkan dengan nihlah (pemberian dengan penuh
kerelaan), bukan sebagai membayar harga wanita.
3.
Menunjukkan kesungguhan, karena nikah dan
berumah tangga bukanlah main-main dan perkara yang bisa dipermainkan.
4.
Menunjukkan tanggung jawab suami dalam
kehidupan rumah tangga dengan memberikan nafkah, karenanya laki-laki adalah pemimpin
atas wanita dalam kehidupan rumah tangganya. Dan untuk mendapatkan hak itu,
wajar bila suami harus mengeluarkan hartanya sehingga ia harus lebih
bertanggung jawab dan tidak sewenang-wenang terhadap istrinya.[13]
Hikmah disyariatkannya mahar dalam nikah
adalah sebagai ganti dari dihalalkannya wanita atau dihalalkannya bersetubuh
dengan suaminya. Di samping itu pula mahar juga sebagai tanda hormat sang suami
kepada pihak wanita dan sebagai tanda kedudukan wanita tersebut telah menjadi
hak suami.[14]
Mahar
disyariatkan Allah SWT. untuk mengangkat derajat wanita dan memberi penjelasan
bahwa akad pernikahan ini mempunyai kedudukan yang tinggi. Oleh karena itu,
Allah SWT. mewajibkannya kepada laki-laki bukan kepada wanita, karena ia lebih
mampu berusaha. Mahar diwajibkan padanya
seperti halnya juga seluruh beban materi. Istri pada umumnya dinafkahi dalam
mempersiapkan dirinya dan segala perlengkapannya yang tidak dibantu oleh ayah
dan kerabatnya, tetapi manfaatnya kembali kepada suami juga.
Oleh karena itu, merupakan sesuatu yang
relevan suami dibebani mahar untuk diberikan kepada sang istri. Mahar ini dalam segala bentuknya menjadi
penyebab suami tidak terburu-buru menjatuhkan talak kepada istri karena yang
ditimbulkan dari mahar tersebut seperti penyerahan mahar yang diakhirkan,
penyerahan mahar bagi wanita yang dinikahinya setelah itu dan juga sebagai
jaminan wanita ketika ditalak.[15]
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Mahar ialah pemberian
wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon suami untuk
menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya.Atau
suatu pemberian yang diwajibkan bagi calon suami kepada calon istrinya, baik
dalam bentuk benda maupun jasa (memerdekakan, mengajar, dan lain sebagainya).
Agama tidak
menetapkan jumlah minimum dan begitu pula jumlah maksimum dari maskawin. Hal
ini disebabkan oleh perbedaan tingkatan kemampuan manusia dalam memberikannya.
Orang yang kaya mempunyai kemampuan untuk memberi maskawin yang lebih besar
jumlahnya kepada calon istrinya. Sebaliknya, orang yang miskin ada yang hampir
tidak mampu memberinya.
Mahar boleh
dilaksanakan dan diberikan dengan kontan atau utang, apakah mau dibayar kontan
sebagian dan utang sebagian. Kalau memang demikian, maka disunahkan membayar
sebagian.
Fuqaha’ sepakat bahwa harta
yang berharga dan maklum patut dijadikan mahar. Oleh karena itu emas, perak,
uang, takaran, timbangan, uang kertas dan lain-lain sah dijadikan mahar karena
ia bernilai material dalam pandangan syara’. Sebagaimana pula mereka sepakat bahwa
sesuatu yang tidak ada nilai material dalam pandangan syara’ tidak sah untuk
dijadikan mahar seperti babi, bangkai dan khamr.
Mahar musamma yang disebutkan maksudnya mahar yang disepakati oleh
kedua belah pihak, baik pada saat akad maupun setelahnya seperti membatasi
mahar bersama akad atau penyelenggaraan akad tanpa menyebutkan mahar, kemudian
setelah itu kedua belah pihak mengadakan kesepakatan dengan syarat
penyebutannya benar.
Maksud
mahar mitsil adalah mahar yang diputuskan untuk wanita yang menikah tanpa
menyebutkna mahar dalam akad, ukuran mahar disamakan dengan mahar wanita yang
seimbang ketika menikah dari keluarga bapaknya seperti saudara perempuan
sekandung, saudara perempuan tunggal bapak, dan seterusnya.
Maksud kekuatan mahar
adalah hal-hal yang memperkuat mahar sehingga tidak ada pengaruh pengguguran
dan pengurangan.
Mahar
yang rusak bisa terjadi karena barang itu sendiri atau karena sifat-sifat
barang tersebut, seperti tidak diketahui atau sulit diserahkan, mahar yang
rusak karena zatnya sendiri, yaitu seperti khamar yang rusak karena sulit
dimiliki atau diketahui, pada dasarnya disamakan dengan jual beliyang
mengandung lima persoalan pokok.
Mahar disyariatkan Allah SWT untuk mengangkat
derajat wanita dan memberi penjelasan bahwa akad pernikahan ini mempunyai
kedudukan yang tinggi. Oleh karena itu, Allah SWT mewajibkannya kepada
laki-laki bukan kepada wanita, karena ia lebih mampu berusaha. Mahar
diwajibkan padanya seperti halnya juga seluruh beban materi. Istri pada umumnya
dinafkahi dalam mempersiapkan dirinya dan segala perlengkapannya yang tidak
dibantu oleh ayah dan kerabatnya, tetapi manfaatnya kembali kepada suami juga.
DAFTAR PUSTAKA
Rofiq, Ahmad,
Hukum Perdata Islam di Indonesia, 2013, Jakarta:
Rajawali Press.
Mugniyah, Muhammad Jawad, Fiqih
Lima Mazhab, Terj. Afif Muhammad, 2001, Jakarta: PT. Lentera Basritama.
Salim, Abu Malik Kamal
bin Sayyid. Fiqh Sunnah untuk Wanita.
2007, Jakarta: Al-I’tishom
Cahaya Umat.
Ilmu Fiqh, jilid II.
1989, Jakarta: CV. Yulina.
Kamal, Abu Malik. Fiqh
Sunnah Wanita. 2008, Jakarta: Pena
Pundi Aksara.
Azzam, Abdul Aziz Muhammad, Abdul Wahhab Sayyed Hawwas. Fiqh
Munakahat. Jakarta: AMZAH.
Kamal, Abu Malik, Shahih Fikih Sunnah, 2007,
Jakarta: Pustaka Azzam.
Yunus, Mahmud,
Perkawinan dalam Islam, 1986, Jakarta: PT. Hidakarya Agung.
Al-Fauzan, Shaleh, Fiqih Sehari-hari,
2005, Jakarta: Gema Insani Press.
[1] Ahmad Rofiq, Hukum
Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press,2013), hlm. 84
[2] Abdul Aziz
Muhammad Azzam, Abdul Wahhab Sayyed Hawwas. Fiqh
Munakahat: Khitbah, Nikah, danTalak. (Jakarta: AMZAH). 177.
[5] Muhammad Jawad Mugniyah, Fiqih Lima Mazhab, Terj. Afif Muhammad, (Jakarta: PT. Lentera Basritama, 2001), hlm. 366.
[6] Abu Malik Kamal bin
Sayyid Salim. Fiqh Sunnah untuk
Wanita. (Jakarta: Al-I’tishom Cahaya Umat,2007). hlm. 663
[7] Al-Muhadzdzab
li Asy-Syayrazi, juz 2, hlm 72 dan Mughni Al-Muhtaj, juz 2, hlm 228.
[8] Al-Muhadzdzab,
juz 6, hlm. 56.
[9] Al-Muhadzdzab,
juz 2, hlm. 265.
[11] Nail
Al-Authar, juz 6, hlm 312
[12] Mahmud Yunus, perkawinan
dalam islam, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1986), hlm. 83
[13] Shaleh
Al-Fauzan, fiqih sehari-hari, (Jakarta: gema insani press, 2005),
hlm.674