Kamis, 10 Desember 2015


MAHAR DALAM PERNIKAHAN


PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Pernikahan adalah suatu peristiwa yang fitrah, tarbiyah, dan sarana paling agung dalam memelihara kontinuitas keturunan dan memperkuat hubungan antar sesama manusia yang menjadi sebab terjaminnya ketenangan, cinta dan kasih sayang. Oleh karena itu, syariat Islam sangat memperhatikan segala permasalahan di dalamnya, yang disebut al-ahwal asy-syakhshiyyah (Hukum yang berkaitan dengan pernikahan, talak, mahar, keturunan dan lain-lain). Pernikahan merupakan suasana salihah yang menjurus kepada pembangunan serta ikatan kekeluargaan, memelihara kehormatan dan menjaganya dari segala keharaman. Nikah juga merupakan ketenangan dan tuma'ninah, karena dengannya bisa didapat kelembutan, kasih sayang serta kecintaan di antara suami dan isteri.

Nikah bisa dimanfaatkan untuk membangun keluarga salihah yang menjadi panutan bagi masyarakat, suami akan berjuang dalam bekerja, memberi nafkah dan menjaga keluarga, sementara istri mendidik anak, mengurus rumah dan mengatur penghasilan, dengan demikian masyarakat akan menjadi benar keadaannya. Allah berfirman dalam surat al-Ruum ayat: 21.

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجاً لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
 Artinya: “dan diantara tanda-tanta kekuasaan allah ialah menciptakan untukmu istri-isri dari sejenismu sendiri, supaya kamu cendrung dan merasa tentram padanya, dan dijadikan-Nya di antramu raa kasih da sayang. akamu yang berpikir”.(QS Al-Arum 30: 21).

Setiap akad pernikahan dari berbagai akad selama dilaksanakan dengan sempurna dan sah dapat menimbulkan beberapa pengaruh. Apalagi akad pernikahan yang merupakan akad yang agung dan penting mempunyai pengaruh yang lebih agung. Terjadinya akad nikah semata akan menimbulkan beberapa pengaruh, di antaranya hak istri kepada  suami. Dan hak-hak istri yang wajib dilaksanakan suami adalah salah satunya adalah mahar. Mahar termasuk keutamaan agama Islam dalam melindungi dan memuliakan kaum wanita dengan memberikan hak yang dimintanya dalam pernikahan berupa mahar kawin yang besar kecilnya ditetapkan  atas persetujuan kedua belah pihak karena pemberian itu harus diberikan secara ikhlas. Para ulama fiqh sepakat bahwa mahar wajib diberikan oleh suami kepada istrinya baik secara kontan maupun secara tempo, pembayaran mahar harus sesuai dengan perjanjian yang terdapat dalam akad pernikahan.

B.     Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan di atas dapat dirumuskan rumusan masalah sebagai berikut :
1.      Apa definisi mahar dan kedudukannya dalam pernikahan?
2.      Apasajakah macam-macam mahar?
3.      Seperti apakah kriteria dan nominal mahar dalam pernikahan?
4.      Apa hikmah disyariatkan mahar ?

C.      Tujuan penulisan

Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagaimana berikut:
1.       Untuk mengetahui definisi Mahar dan kedudukannya dalam pernikahan.
2.      Untuk mengetahui apasajakah macam-macam Mahar?
3.      Untuk mengetahui seperti apakah kriteria dan nominal Mahar dalam pernikahan?
4.      Untuk mengetahui apa hikmah disyariatkan mahar ?

D.      Manfaat Penulisan
      Adapun manfaat penulisan makalah ini adalah sebagaimana berikut:
1.      Memberi pengetahuan baru tentang mahar pernikahan.
2.      Memberi cakrawala baru pada pembaca perihal mahar pernikahan.
3.      Memberi pengetahuan baru kepada pembaca perihal mahar pernikahan.
4.      Bagi peneliti, makalah ini sebagai penambah ilmu pengetahuan dan wawasan.
5.      Bagi pihak lain, makahlah ini sebagai bahan pertimbangan dan acuan untuk penelitian lebih lanjut.

E.       Metode Penulisan
Dari pembuatan dan penulisan makalah “Mahar dalam Pernikahan” ini, penulis (kelompok) menggunakan metode studi pustaka yaitu salah satu metode yang digunakan dalam penulisan Karya Tulis (makalah) dengan cara mengumpulkan literatur baik berasal dari berbagai buku dan mencari inti-inti pembahasan mahar. Sehingga menjadi sebuah bahasan yang menarik pada makalah ini.


PEMBAHASAN

A.    Definisi Mahar dan Kedudukannya dalam Pernikahan
1.    Definisi Mahar
Pengertian mahar secara etimologi berarti maskawin. Sedangkan pengertian mahar menurut istilah ilmu fiqih adalah pemberian yang wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon suami, untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya dalam kaitannya dengan perkawinan.

Kemudian mengenai definisi mahar ini dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), juga dijelaskan “ mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik bebentuk barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.”

Kata Mahar dalam al-Quran tidak ditemukan, yang digunakan adalah kata (صدقاتهن).[1] Dalam referensi lain juga disebutkan bahwa Mahar dalam bahsa Arab Shadaq. Asalnya isim masdar dari kata الصدق, masdarnya إصدق diambil dari kata صدقٍ (benar), dinamakan صدق memberikan arti benar-benar cinta nikah dan inilah yang pokok dalam kewajiban mahar atau maskawin. Pengertian menurut mahar syara’ adalah sesuatu pemberian yang wajib sebab nikah atau bercampur atau keluputan yang dilakukan secara paksa seperti menyusui dan ralat para saksi.

Mengikut Tafsiran Akta Undang-Undang Keluarga Islam (Wilayah Persekutuan) 1984  menyatakan “maskawin“  bererti pembayaran perkawinan yang wajib dibayar di bawah Hukum Syara’ oleh suami kepada isteri pada masa perkawinan diakadnikahkan, sama saja berupa uang yang sebenarnya dibayar atau diakui sebagai hutang dengan atau tanpa cagaran, atau berupa sesuatu yang, menurut Hukum Syara’, dapat dinilai dengan uang.   
Pemberian mahar suami sebagai lambang kesungguhan suami terhadap isteri. Selain itu mahar mencerminkan kasih sayang dan kesediaan suami  hidup bersama isteri serta sanggup berkorban demi kesejahteraan rumah tangga dan keluarga. Mahar juga merupakan penghormatan seorang suami terhadap isteri.

2.    Dasar Hukum Mahar dalam al-Quran dan al-Hadits
Telah terkumpul banyak dalil tentang pensyariatan mahar dan hukumnya wajib. Suami, istri, dan para wali tidak mempunyai kekuasaan mepersyaratkan akad nikah tanpa mahar.
Dalil kewajiban mahar dari al-Quran adalah firman Allah SWT.:
وَءَاُتوا االنِّسَاءَ صَدُ قَتِهِنَّ نِحْلَةً
Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan(QS. An-Nisa’:4)
Demikian juga firman Allah SWT.:
فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَئَاتُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةً
Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban. (QS. An-Nisa’:24)
Dalil disyariatkannya mahar juga ada pada beberapa hadits Nabi SAW.:
عن عامر بن ربيعة ان امرأة من بنى فزارة تزوجت على نعلين فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: أرضيت عن نفسك ومالك بنعلين, فقالت: نعم. فأجا زه. (رواه احمد و ابن ماجه والترمذى)
Dari ‘Amir bin Robi’ah: Sesungguhnya seorang perempuan dari Bani Fazaroh kawin atas maskawin sepasang sandal.  Rasulullah SAW. Lalu bertanya kepada perempuan tersebut: Apakah engkau ridho dengan maskawin sepasang sandal? Perempuan tersebut menjawab: Ya.  Rasulullah akhirnya meluluskannya”. (HR. Ahmad)



Juga sabda Rasulullah SAW.:
تَزَوَّجْ وَلَوْ بِخَاتِمٍ مِنْ حَدِيْدٍ
“Kawinlah engkau sekalipun dengan maskawin cincin dari besi”. (HR. Bukhori)
Hadits di atas menunjukkan kewajiban mahar sekalipun sesuatu yang sedikit. Demikian juga tidak ada keterangan dari Nabi SAW. bahwa beliau meninggalkan mahar pada suatu pernikahan. Andaikata mahar tidak wajib tentu Nabi SAW. pernah meninggalkannya walaupun sekali dalam hidupnya yang menunjukkan tidak wajib. Akan tetapi beliau tidak pernah meninggalkannya, hal ini menunjukkan kewajibannya.[2]
Ibnu Abbas mengisahkan,
لَمَّا تَزَوَّجَ عَلِّي فَاطِمِةَ قال رسول الله صلى عليه وسلم: أَعْطِهَا شَيْئًا, فقال: مَا عِنْدِيْ مِن شَيءٍ, قال: اَيْنَ دِرْعُكَ الحُطَمِيَّةُ؟ قال: هِيَ عِنْدِي, قال: فَأَعْطِهَا اِيَّاهُ.
Ketika Ali ibn Abi Thalib menikahi Fathimah, Rasulullah SAW. bersabda kepadanya, “Berilah ia sesuatu (mahar)”, Ali menjawab: “Aku tidak memiliki apa-apa”, Rasulullah SAW. bertanya: “Mana baju besimu?”, Ali menjawab: Ada padaku”, maka Rasulullah SAW. bersabda: “Berikan itu kepadanya”. (HR. Abu Dawud dan Nasa’i)
Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa mahar merupakan salah satu rukun pernikahan. Akan tetapi mahar itu tidak harus disebutkan dalam akad nikah.
Allah SWT. berfirman,
لاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ اِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَالَمْ تَمَسُّوْهُنَّ اَوْ تَفْرِضُوْا لَهُنَّ فَرِيْضَةً....
Tidak ada dosa bagimu jika kamu menceraikan istri-istri kamu yang belum kamu sentuh (campuri) atau belum kamu tentukan maharnya….”  (QS. Al-Baqarah: 236)
Ibnu Al-Jauzi berkata, “Ayat ini menunjukkan bahwa mahar boleh tidak disebutkan dalam akad nikah”. Akan tetapi, demi menghindari perbedaan pendapat dan pertikaian, mahar itu lebih baik disebutkan disaat pelaksanaan akad nikah.[3]
Adapun ijma’ telah terjadi konsensus sejak masa kerasulan beliau sampai sekarang atas disyariatkannya mahar dan wajib hukumnya. Kesepakatan ulama pada mahar hukumnya wajib. Sedangkan kewajibannya sebab akad atau sebab bercampur intim, mereka berbeda pada dua pendapat. Pendapat yang lebih shahih adalah sebab bercampur intim sesuai dengan lahirnya ayat.[4]
3.    Kedudukan Mahar dalam Pernikahan
Para ulama madzhab sepakat bahwa mahar bukanlah salah satu syarat atau rukun akad, tetapi merupakan suatu konsekuensi adanya akad.[5] Mahar merupakan akibat dan salah satu hukum dari sebagai hukum dalam  suatu perkawinan yang shahih, dan hubungan sebadan sesudah terjadinya perkawinan yang fasid (batal), serta hubungan sebadan yang disebabkan kesamaran. Mahar wajib atas suami untuk istrinya dengan adanya akad nikah yang shahih.
Namun, dalam referensi buku yang lain disana disebutkan bahwa para ulama sepakat bahwa mahar termasuk rukun nikah[6], sehingga dalam pernikahan harus ada mahar yang disebutkan secara langsung atau diam-diam. Jika tidak, maka wanita berhak mendapatkan mahar mitsl. Pendapat ini berdasarkan pada firman Allah surat an-Nisa ayat: 4.

Berkata Syaikh Abu Syuja’ yang artinya: “Disunnahkan menyebut maskawin (mahar) dalam nikah. Jika mahar tidak disebutkan akad tetap sah dan wajiblah maskawin yang seimbang (mahrul-mitsli) dengan tiga hal, yaitu kalau hakim menentukan mahar misil, atau suami istri menentukannya, atau sudah bersetubuh (dukhul) dengannya maka wajiblah mahar misil”.
وَآتُواْالنَّسَاءصَدُقَاتِهِنَّنِحْلَةً. (النساء:٤)
 “Berilah perempuan yang kamu kawini itu suatu pemberian (maskawin)
Dari sunnah ialah sabda Nabi SAW.:
إلتمس ولو خاتم من حديد.
Carilah walau hanya sebentuk cincin dari besi (yakni untuk maskawin)”.

Disunnahkan hendaknya nikah itu tidak diakad melainkan dengan maskawin, karena mengikuti jejak Rasulullah SAW., sebab beliau tidak mengadakan akad nikah melainkan dengan sesuatu yang disebutkan (maskawin), dan karena dengan begitu lebih menjauhkan perselisihan di belakang hari. Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad al-Husaini dalam kitab ‘Kifayatul Akhyar (Kelengkapan Orang Saleh)’.

Imam Syafi’i mengatakan bahwa mahar adalah sesuatu yang wajib diberikan oleh seorang laki-laki kepada perempuan untuk dapat menguasai seluruh anggota tubuhnya. Karena mahar merupakan syarat sahnya nikah, bahkan Imam Malik mengatakannya sebagai rukun nikah, maka hukum memberikannya adalah wajib.

Dalam komplikasi Hukum Islam (KHI), permasalahan mahar terdapat dalam BAB V Pasal 30 sampai dengan Pasal 38. Adapun materi dari pasal-pasal sebagai tersebut :
Pasal 30
Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk, dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak;
Pasal 31
Penentuan mahar berdasarkan asas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran Islam;

Pasal 32
Mahar diberikan langsung kepada calon mempelai wanita dan sejak itu menjadi hak pribadinya;
Pasal 33
1.    Penyerahan mahar dilakukan dengan tunai;
2.    Apabila calon mempelai wanita menyetujui, penyerahan mahar boleh ditangguhkan baik untuk seluruhnya atau untuk sebagian. Mahar yang belum ditunaikan penyerahannya menjadi hutang calon mempelai pria.

Pasal 34
1.    Kewajiban menyerahkan mahar bukan merupakan rukun dan syarat dalam perkawinan;
2.    Kelalaian menyebut jenis dan jumlah mahar pada waktu akad nikah, tidak menyebabkan batalnya perkawinan. Begitu pula halnya dalam keadaan mahar masih berutang tidak mengurangi sahnya perkawinan;

B.     Macam-macam Mahar
Pelaksanaan akad nikah pada masa Rasulullah SAW. ada kalanya mahar itu disebutkan pada saat nikah, dan diserahkan sekaligus pada waktu itu, atau bahkan sudah diterima sebelum akad nikah. Tetapi juga pernah pada waktu dilaksanakan akad nikah,mahar belum diserahkan dan bahkan tidak disebutkan berapa kadar banyaknya mahar yang harus dibayarkan oleh calon suami. Maka akhirnya para ulama’ menyimpulkan bahwa penyerahan mahar itu bisa secara tunai (kontan) dan bisa juga ditunda (dihutang) dalam penyerahannya. Namun yang lebih utama adalah penyerahan mahar secara tunai, walaupun tidak langsung lunas tetapi hanya sebagian apabila tidak mampu seluruhnya.

Adapun mengenai macam-macam mahar, ulama’ sepakat bahwa mahar itu dibedakan menjadi dua,yaitu sebagi berikut :
1.      Mahar Musamma

Mahar yang disebutkan maksudnya mahar yang disepakati oleh kedua belah pihak, baik pada saat akad maupun setelahnya seperti membatasi mahar bersama akad atau penyelenggaraan akad tanpa menyebutkan mahar, kemudian setelah itu kedua belah pihak mengadakan kesepakatan dengan syarat penyebutannya benar.  Ulama fikih bersepakat bahwa dalam pelaksanaannya mahar musamma wajib diberikan secara penuh apabila:
a)      Apabila telah senggama
b)      Apabila salah satu dari suami / istri meninggal dunia

1)        Mahar tersembunyi dan mahar terbuka  
Ada macam mahar yang disepakati oleh kedua belah pihak sebelum akad kemudian diumumkan pada saat akad berbeda dengan mahar yang disepakati, baik dari segi ukuran maupun jenisnya.  Pada saat itu berarti sang istri dihadapkan pada dua mahar; pertama, pertama mahar yang disepakati oleh kedua belah pihak sebelum akad dan mahar ini yang disebutkan mahar tersembunyi.  Kedua, mahar terubuka yang diumumkan dalam akad dihadapan orang banyak.  Mana mahar yang wajib bagi istri dalam kondisi seperti ini, apakah mahar tersembunyi atau mahar terbuka?
Ulama syafi’iyah berpendapat bahwa mahar yang wajib adalah yang disebutkan dalam akad, karena akad inilah mahar menjadi wajib.  Yang wajib adalah yang disebutkan dalam akad, baik sedikit maupun banyak.  Jikalau mahar tersembunyi 1.000 dan mahar yangdiumumkan 2.000, kemudian mereka mengumumkan saat akad bahwa mahar 2.000maka itulah mahar yang wajib.  Apabila mengumumkan bahwa mahar 1.000, maka mahar yang wajib bagi istri adalah 1.000.[7]
Ulama Malikiyah berpendapat, jika kedua belah pihak bersepakat pada mahar tersembunyi dan dalam pengumuman berbeda dengan yang pertama, maka yang dipedomani adalah yang disepakiti kedua belah pihak yang tersembunyi tersebut.  Yang tersembunyi itu inilah yang wajib diberikan kepada istri dan yang disepakati dalam pengumuman tidak diberlakukan.
Ulama Hanabillah memisahkan pada dua kondisi, yaitu:
1.      Jika kedua belah pihak mengadakan akad dengan mahar yang dirahasiakan, kemudian mengadakan akad lagi secara terbuka dan diumumkkan mahar yang berbeda dengan mahar akad yang pertama.  Dalam hokum kondisi seperti ini mahar yang diambil adalah mahar yang yang lebih banyak dari keduanya dan inilah yang wajib diberikan kepada istri.
2.      Jika kedua belah pihak bersepakatan pada mahar sebelum akad kemudian mereka mengadakan akad setelah kesepakatan tersebut yang lebih banyak dari mahar yang disepakati.  Karena penyebutan yang benar pada akad yang benar pula, mahar yang disebutkan dalam akad wajib diberikan kepada istri dan tidak usah memperhatikan penyebutan yang disepakati sebelum akad seolah-olah tidak ada.

Menurut Ulama Hanafiyah, mahar tersembunyi dan terbuka ini dibagi dalam dua kondisi:
1.      Jika kedua belah pihak ketika akad tidak mengatakan bahwa mahar dari mereka 1.000 karena ingin popular (sum’ah), mahar dalam kondisi ini adalah apa yang disebutkan secara terbuka yaitu 2.000
2.      Jika kedua belah pihak mengatakan dalam akad 1.000 dari 2.000 karena mereka yang secara sembunyi yakni 1.000 junaih. Ini lahirnya riwayat Abu Hanifah, yakni pendapat dua sahabatnya.  Diriwayatkan oleh Abu Hanifah juga bahwa mahar adalah yang diumumkan oleh mereka dalam akad, yaitu 2.000 junaih.

Mahar musamma adalah mahar yang disebutkan bentuk, wujud atau nilainya secara jelas dalam akad nikah. Seperti kebanyakan yang berlaku dalam perkawinan masyarakat kita yaitu Indonesia. Mahar musamma terbagi menjadi dua:

1)      Mu`ajjal
Mahar Mu’ajjal adalah mahar yang segera diberikan kepada istri atau mahar yang di berikan secara kontan.
2)      Ghairu Mu’ajjal
Mahar muajjal adalah mahar atau maskawin yang ditangguhkan pemberiannya kepada istri atau mahar yang pemberiannya secara terhutang.

Para ulama’ telah sepakat bahwa mahar musamma harus dibayarkan seluruhnya oleh suami apabila terjadi salah satu diantara hal-hal yang berikut ini, yaitu:
a)      Telah bercampur (bersenggama). Allah SWT. berfirman:
Artinya: “Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata”. (Q.S. An-Nisa’:20).

Ayat ini mengajarkan bahwa apabila seorang suami telah menggauli istrinya dia tidak lagi diperbolehkan mengambil kembali sedikitpun mahar yang telah diberikan. Yang dimaksud dengan “mengganti istri dengan istri yang lain” pada ayat tersebut adalah menceraikan istri yang lama dan mengganti dengan istri yang baru. Meskipun menceraikan istri yang lama bukan tujuan untuk menikah, meminta kembali pemberian-pemberian itu tidak diperbolehkan.

b)     Apabila salah seorang suami atau istri meninggal dunia qabla dukhul. Misalnya apabila suami meninggal sebelum bersetubuh dengan istrinya maka si istri berhak menuntut maskawin seluruhnya dari tinggalan kekayaan suaminya, disamping menerima waris yang berlaku baginya yaitu seperempat kalau suami tidak punya anak atau seperdelapan apabila suami mempunyai anak. Demikian pula ahli waris si perempuan berhak menuntut maskawin dari suaminya apabila si perempuan meninggal dunia sebelum dicampuri suaminya. Demikian ijma’ para ulama dan tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini.

c)      Disini ada perbedaan pendapat para ulama. Abu Hanifah berpendapat bahwa apabila seorang suami sudah pernah berduaan dengan istrinya di tempat yang sepi maka istri sudah berhak menuntut maskawinnya, beralasan dengan hadis Abu Ubaidah dari Zaid bin Abi Aufa, ia berkata: “Khulafaur Rasyidin telah menetapkan bahwa apabila pintu telah ditutup dan kelambu sudah dipasang maka maskawin wajib dibayarkan”.

Menurut Imam Syafi’i, Malik dan Daud pemimpin mazhab Zhahiriyah berpendapat bahwa maskawin itu tidak dapat diminta seluruhnya kecuali apabila suami istri itu telah berhubungan badan (jima), berkhalwat atau menyepi berduan di tempat sepi hanya mewajibkan separuh maskawin. Beralasan dengan firman Allah:

Artinya: “Jika kamu menceraikan Isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal Sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, Maka bayarlah seperdua dari mahar yang Telah kamu tentukan itu…..”. (Q.S Al-Baqarah: 237).

2.      Mahar Mitsil
Yaitu mahar yang tidak disebut besar kadarnya pada saat sebelum ataupun ketika terjadi pernikahan. Atau mahar yang diukur (sepadan) dengan mahar yang pernah diterima oleh keluarga terdekat, agak jauh dari tetangga sekitarnya, dengan mengingat status sosial, kecantikan dan sebagainya.
Bila terjadi demikian, mahar itu tidak disebutkan besar kadarnya pada saat sebelum atau ketika terjadi pernikahan, maka mahar itu mengikuti maharnya saudara perempuan pengganti wanita (bibi, bude, anak perempuan bibi/ bude). Apabila tidak ada, maka mahar mitsil itu beralih dengan ukuran wanita lain yang sederajat dengan dia. Mahar mitsil juga terjadi dalam keadaan sebagai berikut:
1)        Apabila pada waktu dilakukan akad nikah tidak disebutkan jumlah dan jenis mahar dan sebelumnya belum ditentukan mahar itu, seperti dalam nikah tafwidh (nikah yang tidak disebutkan dan tidak ditetapkan maharnya) dengan berlangsung akad nikah ini wanitayang bersangkutan berhak menerima mahar mitsil baik suami telah bercampur dengan istri, atau meninggal sebelum bercampur.
2)        Jika mahar musamma belum dibayar sedangkan suami telah bercampur dengan istri dan ternyata nikahnya tidak sah. Nikah yang tidak disebutkan dan tidak ditetapkan maharnya disebut nikah tafwidh. Hal ini menurut jumhur ulama’ diperbolehkan. Firman Allah SWT.:
Artinya: “Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya”.(Q.S. Al-Baqarah: 236)

Ayat tersebut menunjukkan bahwa seoarang suami boleh menceraikan istrinya sebelum digauli dan belum juga ditetapkan jumlah mahar kepada istrinya itu. Dalam hal ini, maka istri berhak menerima mahar mitsil.

3)        Sepasang suami istri telah sepakat nikah tanpa mahar (nikah tafwidh), namun menurut hukum Islam suami harus membayar mahar, sebab mahar adalah hak Allah. Dalam hal ini istri berhak menerima mahar mitsil, karena ada keharusan dalam syara’ bahwa suami membayar mahar kepada istri karena pernikahan. Orang yang melakukan pernikahan tidak berhak menghilangkan ketentuan itu.

Menurut ulama Syafi’iyah yang dipedomani dalam mempertimbangkan mahar mitsil adalah dengan melihat beberapa wanita keluarga ashabah (sekandung atau dari bapak) perempuan untuk mencari persamaan ukuran mahar.  Yang perlu diperhatikan terhadap wanita-wanita keluarga ashabah perempuan ketika mencari ukuran mahar mitsil adalah dari segi status mereka terhadap perempuan, mereka satu sifat dengannya dan yang paling dekat dengan nya.  Artinya, jika saudara perempuannya yang sekandung yang sama sifat-sifatnya menikah dengna mahar 1.000 rupiah, maka mahar perempuan tersebut juga 1.000.  jika tidak memiliki saudara perempuan sekandung atau belum menikah atau sudah menikah tetapi tidak diketahui maharnya, mka dilihat dari saudara perempuannya tunggal bapak, putri saudara laki-laki sekandung, putri saudara laki-laki sebapak, kemudian saudara ke bawah dari dua arah mereka tersebut yang satu arah ke saudara perempuan kandung yang satu lagi saudara perempuan bapak.
Jika tidak ditemukan wanita-wanita ashabah perempuan di atas dalam arti tidak ada sama sekali atau ada tetap ibelum menikah atau sudah menikah tetapi tidak diketahui maharnya, pindah kepada wanita-wanita arham(keluarga ibu) dari perempuan tersebut secara tertib, yaitu ibu, nenek, bibi, putri saudara perempuan, putri bibi. Kita tidak pindah ke satu wanita dari mereka kecuali sebelumnya dihukumi tidak ada, atau belum nikah atau sudah nikah tetapi tidak diketahui maharnya.
Jika tidak ditemukan wanita keluarga arham (dari ibu) atau ada, tetapi belum menikah atau sudah menikah tetapi tidak diketahui maharnya.  Maka mahar wanita tersebut disamakan mahar wanita-wanita yang setara dengannya.  Akan tetapi lebih didahulukan wanita-wanita dalam negerinya atau negeri-negeri didekatnya.
Pertimbangan persamaan antara dua wanita yang sama dalam sifatnya adalah persamaan dalam usia, kecerdasan(IQ), kecantikan, kekayaan, kejelasan berbicara, keperawanan, karena nahar akan berbeda sebab perbedaan sifat-sifat tersebut.
Demikian juga yang harus dipertimbangkan adalah kondosi suami ketika menentukan ukuran mahar mitsil.  Kondisi suami seperti kaya, berilmu, memelihara haram, dan sejenisnya. Jikalau didapatkan wanita keluarga ashabah istri yang sama sifat-sifatnya dan kondisi suaminya juga sama, maka maharnya sama dengan wanita tersebut.  Jika tidak sama, maka tidak disamakan.

1)   Beberapa Kondisi Wajib Mahar Mitsil

Penulis Syarah At-Tahir telah meringkas kondisi wajib mahar mitsil dengan perkataannya; wajib mahar mitsil pada lima (5) tempat, yaitu: dalam nikah, bersenggama, Khulu’, meralat dari persaksian, dan persusuan.  Dalam mbeberapa kondisi ini mahar mitsil wajib dibayar dank an kami bahas secara perinci.
Kondisi pertama, akad nikah sah jika memenuhi syarat dan rukunnya.  Jika seorang wanita berkata kepada walinya; “nikahkan aku tanpa mahar” kemudian wali menikahkannya tanpa mahar atau menikahkanya tanpa menyebutkan mahar dalam akad atau wali menikahkannya dengan mahar kurang dari mahar mitsil atau dengan uang yang bukan dari negaranya atau ia menyebutkan mahar tertentu kemudian rusak di tangan suami sebelum diserahterimakan, atau kedua belah pihak mempersyaratkan syarat yang rusak seperti khamr.
Dalam bebagai contoh diatas, mahar mitsil wajib diberikan jika telah terjadi percampuran suami atau meninggal salah satunya.  Jika suami belum bercampur atau belum meninggal salah satunya maka wanita berhak menuntut mahar sebelum berhubungan, berhak menahan dirinya sehingga dibayar maharnya dan tidak ada kewajiban suatu sebab akad semata.  Sesungguhnya ia wajib hanya karena salah satu dari tiga hal, yaitu kerelaan wanita atau kewajiban dari pengadilan atau meninggal salah satunya.  Karena jika wajib sebab akad, ia mengambil separuh mahar sebab talak sebelum bercampur seperti mahar yang disebutkan.  al-Quran menunjukkan bahwa tidak ada kewajiban bersenang (mut’ah), sebab dalam akad mempunyai tuntutan agar dibayar maharnya.
Kondisi kedua, wajib mahar mitsil sebab bercampur syubhat.  Misalnya seorang laki-laki mendapati seorang wanita lain yang tidur ditempat istrinya, kemudian ia menduga wanita lain itu adalah istrinya sampai ia mencampurinya, setelah itu ia menyadari itu adalah bukan istrinya.  Atau seorang wanita pindah ketempat istri, suami menduga istrinya kemudian ia mencampurinya, dan ternyata itu bukan istrinya.  Dalam kondisi ini wajib dibayar mahar mitsil tanpa member keperawanan jika ia perawan, jika ia janda ia diberi mahar sebagai janda dan tidak wajib hukuman.  Demikian pernikahan yang rusak (fasid), nmisalnya seseorang menikahi perempuan tanpa wali dan saksi kemudian ia mencampurinya.  Seolah-olah hari kejadian rusak bukan hari akad karena tidak ada pengahargaan bagi akad yagn rusak.

Sebagai sabda Nabi SAW.:

ايما امراة انكحت نفسِها بغير اذن وليها فنكاحها باطل، فان دخل فلها مهر مثلها
Wanita mana saja yang menikahkan dirinya tanpa seizing walinya, nikahnya batal, jika ia mencampurinya maka baginya mahar mitsil.
Kondisi ketiga, wajib mahar mitsil sebab khulu’. Misalnya, jika seorang wanita budak khulu’(mengajukan talak kepada suami dengan hadiah) tanpa seizing tuannya degan memberikan suatu benda, baik milik tuanna atau orang lain. Dalam kondisi ini, suami berhak mahar mitsil-nya yang dianalogikan dengan khulu’.
Kondisi keempat, wajib mahar mitsil karena persusuan. Misalnya, jika seorang laki-laki berakad nikah dengan wanita yang masih bayi seusia persusuan dan memilki istri lain yang sudah dewasa.  Istri dewasa menyusui istri yang masih bayi tanpa seizing suami sampai lima kali susuan.  Bayi tersebut menjadi anaknya suami dalam persusuan dan haram atasnya, karena akad anak wanita mengharamkan ibunya, ia menjadi ibu bagi istri yang bayi. Dengan demikian, istri yang masih bayi mendapatkan separuh mahar yang disebutkan jika penyebutannya benar karena berpisah sebelum bercampur dan jika penyebutannya rusak, ia mendapatkan separuh mahar mitsil. Istri dewasa membayar separuh mahar mitsil kepada suami secara mutlaq, baik penyebutan mahar itu benar maupun rusak, karena ia meluputkan suami dari kehalalan seks istri yang masih bayi.
Kondisi kelima, wajib mahar mitsil karena persaksian.  Misalnya jika dua orang saksi laki-laki bersaksi kepada orang lain bahwa suami menalak istri nya dengan talak ba’in dan talak raj’i dan tidak kembali sampai masa iddah-nya.  Pengadilan mengeluarkan keputusan memisahkan mereka berdasarkan saksi tersebut.  Setelah itu dua orang saksinya meralat persaksiaannya dan berkata: “sesungguhnya apa yang kami persaksikan tidak benar”.  Dalam kondisi ini dua orang saksi wajib membayar mahar mitsil kepada suami, karena merekalah yang meluputkan suami dari kehalalan seks atas istrinya.
C.    Kriteria dan Nominal Mahar dalam Pernikahan
1.    Kriteria Mahar
Fuqaha’ sepakat bahwa harta yang berharga dan maklum patut dijadikan mahar. Oleh karena itu emas, perak, uang, takaran, timbangan, uang kertas dan lain-lain sah dijadikan mahar karena ia bernilai material dalam pandangan syara’. Sebagaimana pula mereka sepakat bahwa sesuatu yang tidak ada nilai material dalam pandangan syara’ tidak sah untuk dijadikan mahar seperti babi, bangkai dan khamr.
Mereka berbedda pendapat tentang jasa atau manfaat, apakah sah jika dijadikan mahar, seperti seseorang menikahi seorang perempuan dengan mahar talak istrinya atau diajarkan Alquran. Dalam contoh pertama, para ulama terjadi perbedaan. Ulama Syafi’iyah[8] bersam Ulama Hanabilah dalam suatu riwayat berpendapat bahwa sah dengan mahar tersebut karena bolehnya mengambil pengganti. Sedangkan dalam contoh kedua, Ulama Syafi’iyah dan Imam Hazm memperbolehkannya berdasarkan hadis: Aku nikahkan engkau padanya dengan mahar sesuatu yang ada bersam engkau dalam Alquran.
Dalam hal ini Asy-Syairazi berpendapat, diperbolehkan mahar dengan sesuatu yang bermanfaat seperti pengabdian, pengajaran al-Quran, dan lain-lain dari hal-hal yang brmanfaat dan diperbolehkan berdasarkan firman Allah SWT.:
قَالَ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ عَلَى أَن تَأْجُرَنِي ثَمَانِيَ حِجَجٍ
Dia (Syaikh Madyan) berkata, “Sesungguhnya aku bermaksud ingin menikahkan engkau dengan salah seorang dari kedua anak perempuanku ini, dengan ketentuan bahwa engkau bekerja padaku selama delapan tahun (QS. Al-Qashash: 27).
Dalam ayat di atas pengembalaan dijadikan mahar. Nabi juga pernah menikahkan seorang wanita yang menghibahkan dirinya kepada peminangnya dengan ayat-ayat al-Quran yang dihafal. Mahar tidak boleh sesuatu yang haram seperti mengajarkan Taurat dan mengerjakan al-Quran kepada wanita dzimmiyah (nonmuslimah yang patuh bernegara di negara Islam), ia mempelajarinya bukan karena cinta Islam.
Mahar tidak senantiasa berupa uang atau barang. Dikalangan santri, pernah terjadi pernikahan dengan maskawin berupa kesanggupan calon suami untuk memberi pelajaran terhadap calon istrinya membaca kitab suci al-Quran sampai tamat, dikalangan para santri lebih dikenal dengan istilah khatam al-Quran.
Syarat-syarat dan manfaat yang boleh dijadikan mahar menurut para ahli fikih beragam, antara lain: menurut ulama Syafi’iyah, manfaat yang dimaksud adalah sesuatu yang dijadikan mahar tersebut mempunyai nilai dan bisa diserahterimakan baik secara konkrit maupun syariat. Ulama Syafi’iyah menganggap tidak sah bagi orang yang mengajarkan satu kata atau satu ayat pendek yang mudah, apalagi diajarkan kepada orang kafir zimmi bukan dengan tujuan masuk Islam.
Berbeda lagi dengan ulama Hanabilah, mereka berpendapat bahwa manfaat yang dimaksud dalam mahar ini adalah semua manfaat yang diketahui secara pasti serta dapat diambil manfaatnya, karena manfaat disini dianggap sebagai imbalan dalam akad tukar menukar.
Sedangkan Malikiyah memberikan syarat bahwa, mahar berupa manfaat tersebut harus diketahui dan dari benda yang baik. Dalam hal ini, ulama Malikiyah terbagi menjadi 3 pendapat yang berbeda, yaitu :
Menurut pendapat ibnu Qasim tidak boleh. Imam Malik sendiri mengatakan boleh tapi makruh. Ashbagh dan Suhnun mereka berpendapat bahwa mahar manfaat itu boleh tapi makruh.
Ulama yang keempat adalah ulama Hanafiyah, ulama yang berpendapat bahwa manfaat yang akan dijadikan mahar harus manfaat yang dapat diukur dengan harta, seperti mengendarai kendaraan, menempati rumah atau menanam sawah dalam waktu tertentu.
Berdasarkan keterangan di atas, syarat sah mahar adalah sebagai berikut:
1.    Mahar tidak berupa barang haram, tidak sah mahar berupa khamr atau babi dan seterusnya.
2.    Tidak ada kesamaran, jika terdapat unsur ketidakjelasan maka tidak sah dijadikan mahar, sperti mahar berupa hasil panen kebun pada tahun yang akan datang atau sesuatu yang tidak jelas, seperti mahar rumah yang tidak ditentukan.
3.    Mahar dimiliki dengan pemikiran sempurna. Syarat ini mengecualikan pemilikan yang kurang atau tidak sempurna, seperti mahar sesuatu yang dibeli dan belum diterima, pemilikan seperti ini pemilikan yang kurang atau tidak sempurna, tidak sah dijadikan mahar.
4.    Mahar mampu diserahkan. Dengan syarat ini mengecualikan yang tidak ada kemampuan menyerahkan seperti burung di awang-awang atau ikan di laut. Tidak sah hal tersebut dijadikan mahar.[9]
Semua benda yang bisa dijadikan alat penukaran (tsaman) dalam jual beli. Mahar bisa berupa barang yang bernilai ekonomis, suci, halal, bisa dimanfaatkan, dan bisa diserah-terimakan, misalnya uang, barang, atau sejenisnya. Allah SWT. berfirman, “Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu.” (QS. An-Nisaa:4).
Mahar bisa berupa sebagai berikut:
a.)    Jasa
Setiap pekerjaan (jasa) yang mendapat upah boleh dijadikan sebagai mahar. Misalnya mengajar al-Quran, pekerjaan tangan, pelayanan, dan sejenisnya. Ini adalah pendapat imam Syafi’i dan Ahmad. Sementara itu, Abu hanifah menolaknya, sedangkan Imam Malik menganggapnya makruh.
Menurut Ulama’ yang  membolehkan menikah dengan  mahar jasa karena Allah SWT. telah mengisahkan pada kita bagaimana seorang bapak tua menikahkan Musa AS. dengan salah satu puterinya dengan mahar bekerja selama delapan tahun pada si bapak. Allah SWT. berfirman,”Berkatalah dia (Syu’aib): “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anaku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku  delapan tahun dan jika kamu tidak hendak memberati kamu. Dan kamu insyaAllah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik.” (Qs. Al-Qashash:27) hal ini memang syariat umat sebelum islam, namun selama tidak ada dalil yang membatalkanya, maka ia tetap sah dan berlaku bagi kita.

b.)    Memerdekakan budak
Diceritakan oleh Anas, bahwasanya Rasulullah SAW. memerdekakan Shafiyah dan menjadikan pemerdekaanya sebagai maharnya.

Kalangan yang membolehkan pemerdekaan budak sebagai mahar adalah Syafi’i, Ahmad, dan Daud Azh-Zhahiri. Namun hal ini ditolak oleh kalangan ahli fikih berbagai negeri dengan alasan bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar(ushul). Menurut logika mereka, pemerdekaan budak berarti penghapusan  kepemilikan atas diri budak tersebut, dan penghapusan ini tidak mengandung unsur penghalalan sesuatu. Disisi lain, jika seorang budak dimerdekakan, maka ia berarti memiliki dirinya sendiri.

Pendapat yang lebih unggul adalah yang membolehkan pemerdekaan budak sebagai mahar demi merujuk hadis diatas. Sebab, pada dasarnya semua perbuatan Nabi saw adalah untuk diteladani umatnya, kecuali ada dalil yang menunjukan kekhususan, misalnya menikahi wanita yang menghibahkan dirinya pada beliau dan beristeri lebih dari empat. Selain itu, apa yang disebut-sebut kalangan ahli fikih berbagai negeri bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar sama sekali tidak bertentangan dengan hadis ini.



c.)      Memeluk islam sebagai maharnya
Dikisahkan oleh Anas bin Malik, tuturnya: Abu Thalhah menikahi Ummu Sulaim dengan mahar “masuk Islam”. Dikisahkan bahwa Ummu Sulaim lebih dahulu memeluk Islam daripada Abu Thalhah. Saat melamarnya, Ummu Sulaim pun berkata kepadanya, “Aku telah masuk Islam. Jika kamu masuk Islam, aku bersedia menikah denganmu.” Abu Thalhah pun memeluk Islaam dan menjadikanya sebagai mahar antara keduanya.”Hadits ini menjadi argumentasi tersendiri bagi kalangan yang membolehkan keislaman lelaki sebagai mahar, namun Abu Muhammad bin Hazm menyanggah pendapat ini dengan 2 argumentasi:
1.      Hal itu terjadi beberapa waktu sebelum hijrah, sebab itu Abu Thalhah termasuk generasi awal yang masuk islam dan menjadi pendukung Islam, dan kala itu belum turun kewajiban memberikan mahar pada perempuan.
2.    Tidak ada indikasi dalam hadis tersebut yang menjelaskan bahwa Nabi saw ,mengetahui masalah ini.[10]

2.    Nominal Mahar
a)    Batasan Tertinggi dan Batasan Terendah Mahar
     Kalangan  ulama  sepakat  secara bulat bahwa tidak ada batasan tertinggi mahar yang diberikan mempelai pria kepada isterinya.
Fuqoha’ sepakat bahwa mahar tidak memiliki ukuran batas yang harus dilakukan dan tidak boleh melebihinya. Ukuran mahar diserahkan kepada kemampuan suami sesuai dengan pandangannya yang sesuai. Tidak ada dalam syara’ suatu dalil yang membatasi mahar sampai tinggi dan tidak boleh melebihinya. Sebagaimana firman Allah SWT.:
Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali sedikit pun darinya. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata? Dan bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal kamu telah bergaul satu sama lain (sebagai suami-istri). Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil perjanjian yang kuat (ikatan pernikahan) dari kamu.
Umar ra ketika hendak mencegah manusia berlebih-lebihan dalam mahar dan melarangnya lebih dari 400 dirham dan diceramahkan di hadapan manusia. Ia berkata: “Ingatlah, jngan berlebihan dalam mahar wanita, sesungguhnya jika mereka terhormat di dunia atau takwa di sisi Allah sungguh Rasulullah SAW. orang yang paling utama di antara kalian.” Beliau tidak memberikan mahar pada seorang wanita dari para istri beliau dan putra-putri beliau lebih dari 12 uqiyah. Barangsiapa yang memberi mahar lebih dari 400 dirham maka tambahan itu dimasukkan uang kas. Lantas ada seorang wanita dari quraisy berkata: “Bukan demikian hai Umar.” Sahut Umar: “Mengapa tidak…” Wanita berkata: ”Karena Allah berfirman: Sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yng banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikit pun (QS. An-Nisaa: 20).” Beliau berkata: “Allah maaf, Umar bersalah dan benar wanita ini.” Selanjutnya beliau berkata: “Dulu aku mencegah kamu melebihi 400 dirham untuk mahar wanita, barangsiapa yang berkehendak berilah dari hartanya yang disukai.”
Sekalipun fuqaha sepakat bahwa tidak ada batas maksimal dalam mahar, tetapi seyogianya tidak berlebihan, khususnya di era sekarang. Hadis yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW. bersabda:
أَقَلُّهُنَّ مُهُوْرًا أَكْثَرُهُنَّ بَرَكَةً
Wanita yang sedikit maharnya lebih banyak berkahnya.
خَيْرُالصَّدَاقِ أَيْسَرُهُنَّ
Sebaik-baik mahar adalah yang paling mudah.[11]
   Ulama Syafi’iyah, Imam Ahmad, Ishak, dan Abu Tsaur berpendapat tidak ada batas minimal mahar, tetapi sah dengan apa saja yang mempunyai nilai materi, baik sedikit maupun banyak. Alasannya, karena beberapa teks al-Quran yang menjelaskan tentang mahar dengan jalan kebijaksanaan, layak baginya sedikit dan banyak. Sebagaimana firman Allah SWT. :
وَآتُواْ النَّسَاء صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً
Artinya: “Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan.” (QS. An-Nisaa: 4)
 وَأُحِلَّ لَكُم مَّا وَرَاء ذَلِكُمْ أَن تَبْتَغُواْ بِأَمْوَالِكُم مُّحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ
Artinya: “Dan (diharamkan juga kamu menikahi) perempuan yang bersuami, kecuali hamba sahaya perempuan (tawanan perang) yang kamu miliki sebagai ketetapan Allah atas kamu. Dan dihalalkan bagimu selain (perempuan-perempuan) yang demikian itu jika kamu berusaha dengan hartamu untuk menikahinya bukan untuk berzina.” (QS. An-Nisa: 24)
وَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
Artinya: “Dan berilah mahar mereka menurut yang patut.” (QS. An-Nisaa: 25)
Di antara sunnah, hadis yang diriwayatkan dari Amir bin Rabi’ah bahwa seorang wanita dari Bani Fazarah menikah atas sepasang dua sandal. Rasulullah bertanya:
رَظِيْتِ عَنْء نَفْسِكِ وَمَالِكِ بِنَعْلَيْنِ ؟ فَقَالَتْ : نَعَم, فَأَجَازَهُ
Apakah kamu rela dari dirimu dan hartamu dengan sepasang dua sandal? Wanita itu menjawab: “Ya aku rela” maka beliau memperbolehkannya. (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan At-Tirmidzi)
Dari Jabir bahwa Rasulullah SAW. bersabda :
لَوْأَنَّ رَجُلَا أَعْطَى امْرَأَةَ صَدَاقَا مِلْءَيَدَيْهِ طَعَامًا كَانَتْ لَهُ حَلَا لاً
Jikalau bahwa seorang laki-laki memberi mahar kepada seorang wanita berbentuk makanan sepenuh dua tangannya, maka halal baginya.(HR. Ahmad)
Hadis di atas menunjukkan bahwa apa saja yang bernilai material walaupun sedikit, sah dijadikan mahar. Demikian pula hadis yang diriwayatkan bahwa Nabi SAW. bersabda kepada seseorang yang ingin menikah:
أُنْظُرْ وَلَوْ خَاتَمَا مِنْ حَدِيْدٍ
Lihatlah walaupun sebuah cincin dari besi. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Teks-teks hadis di atas menunjukkan secara tegas bahwa tidak ada batas minimal dalam mahar, tetapi segala sesuatu yang dinilai material patut menjadi mahar.
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa minimal sesuatu yang layak dijadikan mahar adalah seperempat dinar emas atau tiga dirham perak. Karena Abdurrahman bin ‘Auf menikah atas emas seberat biji kurma, yaitu seperempat dinar dan ukuran itulah nishab pencurian menurut mereka. Artinya, harta seukuran itu mempunyai arti nilai dan kehormatan berdasarkan dipotong tangan pencurinya dan tidak dipotong di bawah ukuran itu, maka itulah batas ukuran minimal mahar.
Ibnu Syabramah berpendapat, uluran minimal mahar adalah 5 dirham, Said bin Jubair berpendapat bahwa minimal 50 dirham sedangkan An-Nukhai berpendapat 40 dirham. Ukuran tersebut didasarkan pada sebagian peristiwa kejadian yang diperkirakan pada ukuran tersebut dan dianalogikan dengan nisab pencurian menurut masing-masing mereka.
Menurut madzhab Hanafiyah, yang diamalkan dalam ukuran minimal mahar adalah 10 dirham. Ukuran ini sesuai dengan kondisi ekonomi yang berlaku, yakni 25 Qursy. Dasar mereka adalah hadis yang diriwayatkan Jabir dari Nabi SAW. bersabda :
لاَمَهْرَأَقَلَّ مِنْ عَشْرَةِ دَرَاهِمِ
Tidak ada mahar yang lebih minim dari 10 dirham.”
   Pendapat yang kuat menurut kita adalah pendapat Imam Asy-Syafi’I dan Ahmad, karena hadis yang disandarkan kepadanya yang paling shahih tentang hal tersebut menurut kesepakatan para ulama. Sedangkan yang disandarkan kepada yang lain tidak shahih.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,”Barangsiapa yang memiliki harta dan kekayaan berlimpah, lalu ia ingin memberikan mahar sebesar-besarnya pada isterinya, maka tidak ada masalah baginya, sebagaimana firman Allah swt,”Sedang kamu  telah  memberikan  kepada seseorang diantara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun.” (Qs. An-Nisaa:20).

Namun jika ia memaksakan diri untuk memberikan mahar yang besar sementara ia sendiri sebenarnya berkeberatan untuk memenuhinya, maka ini hukumnya makruh. Terkait dengan batasan terendah, pendapat yang rajih memastikan bahwa tidak ada pula batasan terendah dari mahar yang harus dibayarkan kepada mempelai wanita. Mahar bisa berupa apa saja yang disebut “mal” (uang/harta) atau apa saja yang bisa dinilai dengan uang (jasa) selama kedua belah pihak sama sama ridha (menerima dengan senang hati). Ini adalah pendapat imam Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, Al Auza’i, Al-Laits, Ibnu Musayyab, dan lain-lain.

Bahkan Ibnu Hazm membolehkan semua hal yang bisa diparoh (dibelah) sebagai mahar, meskipun hanya sebiji gandum. Mahar boleh berupa sesuatu yang memiliki nilai material maupun immaterial. Dan inilah yang disepakati oleh dalil-dalil yang ada dan sesuai dengan pengertian yang benar dari pensyariatan mahar. Sebab substansi mahar bukanlah sebagai kompensasi yang bersifat materi saja, akan tetapi ia lebih merupakan simbolisasi keinginan dan ketulusan niat untuk hidup bersama dalam biduk rumah tangga. Sehingga ia boleh diwujudkan dalam bentuk uang/materi, dan dalam bentuk sesuatu yang memiliki nilai immaterial, selama mempealai wanita ridha (rela) menerima.

D.    Hikmah Mahar
Wujud mahar (bukanlah) untuk menghargai atau menilai perempuan, melainkan sebagai bukti bahwa calon suami sebenarnya cinta kepada calon istrinya, sehingga dengan suka dan relahati ia mengorbankan hartanya untuk diserahkan kepada istrinya itu, sebagai tanda suci hati dan pendahuluan, bahwa suami akan terus menerus memberi nafkah kepada isteinya, sebagai kewajiban suami terhadap istrinya. Oleh sebab itu, maskawin tidak ditentukan berapa banyaknya, tetapi cukup dengan tanda cinta hati. Laki-laki yang tidak mau membayar mahar adalah suatu bukti bahwa ia tidak menaruh cinta walaupun sedikit kepada istrinya.[12]
Dalam setiap amal pasti membawa hikmah tersendiri, begitupun dengan mahar. Adapun hikmah mahar adalah:
1.        Menunjukkan kemuliaan wanita, karena wanita yang dicari laki-laki bukan laki-laki yang dicari wanita.laki-laki yang berusaha untuk mendapatkan wanita meskipun harus mengorbankan hartanya.
2.        Menunjukkan cinta dan kasih saying seorang suami kepada istrinya, karena maskawin itu sifatnya pemberian, hadiah, atau hibah yang oleh al-Quran diistilahkan dengan nihlah (pemberian dengan penuh kerelaan), bukan sebagai membayar harga wanita.
3.        Menunjukkan kesungguhan, karena nikah dan berumah tangga bukanlah main-main dan perkara yang bisa dipermainkan.
4.        Menunjukkan tanggung jawab suami dalam kehidupan rumah tangga dengan memberikan nafkah, karenanya laki-laki adalah pemimpin atas wanita dalam kehidupan rumah tangganya. Dan untuk mendapatkan hak itu, wajar bila suami harus mengeluarkan hartanya sehingga ia harus lebih bertanggung jawab dan tidak sewenang-wenang terhadap istrinya.[13]

Hikmah disyariatkannya mahar dalam nikah adalah sebagai ganti dari dihalalkannya wanita atau dihalalkannya bersetubuh dengan suaminya. Di samping itu pula mahar juga sebagai tanda hormat sang suami kepada pihak wanita dan sebagai tanda kedudukan wanita tersebut telah menjadi hak suami.[14]
            Mahar disyariatkan Allah SWT. untuk mengangkat derajat wanita dan memberi penjelasan bahwa akad pernikahan ini mempunyai kedudukan yang tinggi. Oleh karena itu, Allah SWT. mewajibkannya kepada laki-laki bukan kepada wanita, karena ia lebih mampu berusaha.  Mahar diwajibkan padanya seperti halnya juga seluruh beban materi. Istri pada umumnya dinafkahi dalam mempersiapkan dirinya dan segala perlengkapannya yang tidak dibantu oleh ayah dan kerabatnya, tetapi manfaatnya kembali kepada suami juga.
Oleh karena itu, merupakan sesuatu yang relevan suami dibebani mahar untuk diberikan kepada sang istri.  Mahar ini dalam segala bentuknya menjadi penyebab suami tidak terburu-buru menjatuhkan talak kepada istri karena yang ditimbulkan dari mahar tersebut seperti penyerahan mahar yang diakhirkan, penyerahan mahar bagi wanita yang dinikahinya setelah itu dan juga sebagai jaminan wanita ketika ditalak.[15]



PENUTUP

A.    Kesimpulan
Mahar ialah pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya.Atau suatu pemberian yang diwajibkan bagi calon suami kepada calon istrinya, baik dalam bentuk benda maupun jasa (memerdekakan, mengajar, dan lain sebagainya).
Agama tidak menetapkan jumlah minimum dan begitu pula jumlah maksimum dari maskawin. Hal ini disebabkan oleh perbedaan tingkatan kemampuan manusia dalam memberikannya. Orang yang kaya mempunyai kemampuan untuk memberi maskawin yang lebih besar jumlahnya kepada calon istrinya. Sebaliknya, orang yang miskin ada yang hampir tidak mampu memberinya.
Mahar boleh dilaksanakan dan diberikan dengan kontan atau utang, apakah mau dibayar kontan sebagian dan utang sebagian. Kalau memang demikian, maka disunahkan membayar sebagian.
Fuqaha’ sepakat bahwa harta yang berharga dan maklum patut dijadikan mahar. Oleh karena itu emas, perak, uang, takaran, timbangan, uang kertas dan lain-lain sah dijadikan mahar karena ia bernilai material dalam pandangan syara’. Sebagaimana pula mereka sepakat bahwa sesuatu yang tidak ada nilai material dalam pandangan syara’ tidak sah untuk dijadikan mahar seperti babi, bangkai dan khamr.
Mahar musamma yang disebutkan maksudnya mahar yang disepakati oleh kedua belah pihak, baik pada saat akad maupun setelahnya seperti membatasi mahar bersama akad atau penyelenggaraan akad tanpa menyebutkan mahar, kemudian setelah itu kedua belah pihak mengadakan kesepakatan dengan syarat penyebutannya benar.
Maksud mahar mitsil adalah mahar yang diputuskan untuk wanita yang menikah tanpa menyebutkna mahar dalam akad, ukuran mahar disamakan dengan mahar wanita yang seimbang ketika menikah dari keluarga bapaknya seperti saudara perempuan sekandung, saudara perempuan tunggal bapak, dan seterusnya.
Maksud kekuatan mahar adalah hal-hal yang memperkuat mahar sehingga tidak ada pengaruh pengguguran dan pengurangan.
Mahar yang rusak bisa terjadi karena barang itu sendiri atau karena sifat-sifat barang tersebut, seperti tidak diketahui atau sulit diserahkan, mahar yang rusak karena zatnya sendiri, yaitu seperti khamar yang rusak karena sulit dimiliki atau diketahui, pada dasarnya disamakan dengan jual beliyang mengandung lima persoalan pokok.
Mahar disyariatkan Allah SWT untuk mengangkat derajat wanita dan memberi penjelasan bahwa akad pernikahan ini mempunyai kedudukan yang tinggi. Oleh karena itu, Allah SWT mewajibkannya kepada laki-laki bukan kepada wanita, karena ia lebih mampu berusaha.  Mahar diwajibkan padanya seperti halnya juga seluruh beban materi. Istri pada umumnya dinafkahi dalam mempersiapkan dirinya dan segala perlengkapannya yang tidak dibantu oleh ayah dan kerabatnya, tetapi manfaatnya kembali kepada suami juga.


DAFTAR PUSTAKA

Rofiq, Ahmad, Hukum Perdata Islam di Indonesia, 2013, Jakarta: Rajawali Press.
Mugniyah, Muhammad Jawad, Fiqih Lima Mazhab, Terj. Afif Muhammad, 2001, Jakarta: PT. Lentera Basritama.
Salim, Abu Malik Kamal bin Sayyid. Fiqh Sunnah  untuk Wanita. 2007, Jakarta: Al-I’tishom Cahaya Umat.
Ilmu Fiqh, jilid II. 1989, Jakarta: CV. Yulina.
Kamal, Abu Malik. Fiqh Sunnah Wanita. 2008, Jakarta: Pena Pundi Aksara.
Azzam, Abdul Aziz Muhammad,  Abdul Wahhab Sayyed Hawwas. Fiqh Munakahat. Jakarta: AMZAH.
Kamal, Abu Malik, Shahih Fikih Sunnah, 2007, Jakarta: Pustaka Azzam.
Yunus, Mahmud, Perkawinan dalam Islam, 1986, Jakarta: PT. Hidakarya Agung.
Al-Fauzan, Shaleh, Fiqih Sehari-hari, 2005, Jakarta: Gema Insani Press.


[1] Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press,2013), hlm. 84
[2] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Abdul Wahhab Sayyed Hawwas. Fiqh Munakahat: Khitbah, Nikah, danTalak. (Jakarta: AMZAH). 177.
[3] Abu Malik Kamal. Fiqh Sunnah Wanita. (Jakarta: Pena PundiAksara). hlm.175
[4] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Abdul Wahhab Sayyed Hawwas. Fiqh Munakahat. hlm.177
[5] Muhammad Jawad Mugniyah, Fiqih Lima Mazhab, Terj. Afif Muhammad, (Jakarta: PT. Lentera Basritama, 2001), hlm. 366.
[6] Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim. Fiqh Sunnah  untuk Wanita. (Jakarta: Al-I’tishom Cahaya Umat,2007). hlm. 663
[7] Al-Muhadzdzab li Asy-Syayrazi, juz 2, hlm 72 dan Mughni Al-Muhtaj, juz 2, hlm 228.
[8] Al-Muhadzdzab, juz 6, hlm. 56.
[9] Al-Muhadzdzab, juz 2, hlm. 265.
[10] Abu Malik Kamal, Shahih Fikih Sunnah, (Jakarta:Pustaka Azzam, 2007), hlm. 250-253
[11] Nail Al-Authar, juz 6, hlm 312
[12] Mahmud Yunus, perkawinan dalam islam, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1986), hlm. 83
[13] Shaleh Al-Fauzan, fiqih sehari-hari, (Jakarta: gema insani press, 2005), hlm.674
[14] Saleh Al-Fauzan. Fiqh Sehari-hari, hlm. 674
[15] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Abdul Wahhab Sayyed Hawwas. Fiqh Munakahat. hlm.177-178